Sabtu, 01 Mei 2010

kepemimpinan di indonesia

Kepemimpinan
Ketika seorang individu berusaha mempengaruhi perilaku lainnya dalam suatu kelompok tanpa menggunakan bentuk paksaan, usaha ini dapat dikatakan sebagai kepemimpinan. Lebih spesifik lagi, buku Handbook of Leadership (Stogdill, 1974; pada Bass, 1985) mendefinisikan kepemimpinan sebagai “suatu interaksi antar anggota suatu kelompok”. Selanjutnya, Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (1995) mengatakan bahwa pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih mempengaruhi orang lain daripada perilaku orang lain yang mempengaruhi mereka.
Definisi kepemimpinan menyiratkan bahwa, kepemimpinan melibatkan penggunaan pengaruh, dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Elemen kedua dalam definisi ini melibatkan pentingnya menjadi agen bagi perubahan, mampu mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Terakhir, definisi ini memusatkan pada pencapaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus memusatkan pada tujuan-tujuan individu, kelompok, dan organisasi. Keefektifan pemimpin secara khusus diukur dengan pencapaian dari satu atau beberapa kombinasi tujuan-tujuan ini. Individu dapat memandang pemimpinnya efektif atau tidak, berdasarkan kepuasan yang mereka dapatkan dari pengalaman kerja keseluruhan. Pada kenyataannya, diterimanya arahan atau permintaan sang pemimpin sebagian besar tergantung pada harapan pengikutnya bahwa suatu respon yang tepat dapat mengarah pada hasil akhir yang menarik.
Bagi Burns (1978; pada Yukl, 1994), kepemimpinan merupakan sebuah proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai ciri-ciri sendiri. Burns (1978; pada Yukl, 1994) menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antarhubungan yang berkembang dimana para pemimpin secara terus menerus membangkitkan tanggapan-tanggapan motivasional para pengikut dan memodifikasi perilaku mereka untuk mencapai tujuan bersama.

B. Kepemimpinan Transaksional
Sependapat dengan Burns (1978; pada Yukl, 1994), Bass memandang kepemimpinan transaksional sebagai sebuah imbalan untuk mendapatkan kepatuhan. Dalam menggunakan gaya transaksi, pemimpin bersandar pada contingent reward leadership (imbalan) dan management by exception (hukuman).
Contingent reward leadership atau kepemimpinan berdasarkan pemberian imbalan merupakan suatu bentuk pertukaran aktif dan positif antara pemimpin dan bawahan, bawahan diberi imbalan atau dihargai atas tercapainya tujuan yang telah disepakati. Imbalan diberikan sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Kepemimpinan berdasarkan imbalan ini pada umumnya dianggap berhubungan positif dengan kinerja. Hasil-hasil penelitian secara konsisten menemukan bahwa kepemimpinan berdasar imbalan berhubungan positif terhadap kinerja bawahan dan kepuasan kerja (Hunt & Schuler, 1976; Klimoski & Hayes, 1980; Podsakoff & Schriesheim, 1985; Podsakoff et al., 1982; Sims & Szilagyi, 1975; Sims, 1977; Reitz, 1971; pada Howell & Avolio, 1993).
Hubungan positif ini didasarkan pada asumsi bahwa dengan menjelaskan apa yang dikehendaki pemimpin dan selanjutnya memberi imbalan bila dilakukan dengan benar, maka pimpinan telah mengarahkan bawahan ke kinerja yang dikehendakinya. Selain itu, dalam kepemimpinan berdasarkan imbalan, tercakup kejelasan mengenai jenis-jenis pekerjaan untuk memperoleh imbalan sehingga mampu membangkitkan motivasi individu untuk mencapai dan meningkatkan kinerja. Hasil-hasil meta analisis menemukan bahwa perilaku kepemimpinan berdasarkan imbalan berhubungan positif dengan kinerja bawahan dan perilaku-perilaku pemimpin lainnya berhubungan signifikan dan negatif dengan kinerja, walau besarnya korelasi untuk non-contingent reward dan contingent punishment cukup kecil (Williams & Podsakoff, 1988; pada Williams, Podsakoff, & Huber, 1992).
Selain ditemukannya pengaruh positif, kepemimpinan berdasarkan imbalan juga berpengaruh negatif terhadap beberapa outcomes. Penelitian Howell dan Merenda (1999) dengan menggunakan responden para manajer dan karyawan bank berusaha meneliti hubungan antara Leader Member Exchange, kepemimpinan transformasional dan transaksional, dan prediksi jarak terhadap kinerja karyawan. Hasil penelitian mereka menemukan bahwa kepemimpinan berdasarkan imbalan berhubungan negatif dengan kinerja karyawan selama lebih dari satu periode. Penelitian lain yang dilakukan oleh beberapa peneliti (Bass & Avolio, 1990; Bass & Yammarino, 1991; Howell & Merenda, 1999), menyatakan bahwa kepemimpinan berdasarkan imbalan sering tidak berfungsi dan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan yang sering kali dihubungkan dengan kinerja extra-role (organizational citizenship behavior/OCB).
Dimensi kedua kepemimpinan transaksional adalah management by exception yang merupakan transaksi aktif dan pasif antara pemimpin dan bawahan (Hater & Bass, 1988). Perbedaan antara management by exception aktif dan pasif didasarkan pada timing intervensi pemimpin. Dalam bentuk yang aktif, pemimpin terus memonitor kinerja bawahan guna mengantisipasi kesalahan. Pemimpin secara aktif dan terus menerus mencari permasalahan dan penyimpangan serta menjelaskan standar kerja sejak permulaan. Pada umumnya pemimpin yang menggunakan management by exception aktif ini, bisa mendorong kinerja pengikutnya melalui kritik, menjelaskan standar kerja, atau memodifikasi kinerja yang buruk dengan cara-cara yang bisa diterima untuk menghindarkan konsekuensi yang merugikan.
Sedangkan dalam bentuk yang pasif, pemimpin melakukan intervensi dengan kritik dan mengoreksi setelah terjadinya kesalahan. Pemimpin menunggu setelah tugas selesai dikerjakan dan menjelaskan standarnya setelah terjadi kesalahan. Pada kepemimpinan transaksional yang didasarkan pada management by exception pasif ini, pemimpin selalu mengandalkan pada kritik dan teguran sebagai pernyataan ketidaksetujuannya (Bass & Yammarino, 1991).
Penelitian Howell dan Avolio (1993) menemukan bahwa management by exception secara aktif maupun pasif akan berdampak negatif pada kinerja. Teguran atau ketidaksetujuan, seperti yang dicontohkan pada managemeny by exception, pada umumnya memiliki dampak negatif pada kepuasan dan kinerja karyawan, terutama bila pemimpin menunggu hingga muncul masalah dan baru menetapkan standar. Penelitian Howell dan Avolio (1993) dan Howell dan Merenda (1999) menyimpulkan bahwa management by exception berhubungan negatif dengan kinerja unit bisnis dan kinerja karyawan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Bass dan Avolio (1990) menyimpulkan bahwa tipe kepemimpinan transaksional merupakan resep yang tidak sepenuhnya dijalankan. Hal ini terutama terjadi bila pemimpin sangat mengandalkan pada management by exception secara pasif, melakukan intervensi hanya bila prosedur dan standar untuk menyelesaikan tugas tidak terpenuhi. Sudah jelas bahwa aspek-aspek tertentu dalam kepemimpinan transaksional seperti yang telah dicontohkan di atas mungkin menjadi kontraproduktif terhadap tujuan pemimpin, pengikut dan organisasi dan akhirnya berdampak negatif pula terhadap kinerja karyawan khususnya oganizational citizenship behavior.

C. Kepemimpinan Transformasional
Transformasi diartikan sebagai suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, seorang pemimpin yang reformis adalah seorang pemimpin yang mampu melakukan perubahan-perubahan di dalam organisasi yang dipimpinnya guna mendapatkan atau mencapai kinerja organisasi yang lebih baik. Seorang pemimpin yang reformis adalah juga seorang pemimpin transformasional.
Kepemimpinan transformasional merupakan perluasan dari kepemimpinan transaksional yang mencakup unsur yang lebih luas dari kepemimpinan transaksional (Waldman, Bass, & Einstein, 1985). Bass (1985; pada Yukl, 1994) mengusulkan sebuah teori kepemimpinan transformasional (transformational leadership) yang dibangun dari gagasan-gagasan Burns. Tingkat sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek pemimpin tersebut terhadap para bawahannya. Para bawahan seorang pemimpin transformasional merasakan adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan hormat terhadap pemimpin dan termotivasi untuk melakukan lebih dari yang awalnya diharapkan terhadap mereka.
Pemimpin transformasional berusaha mentransformasi dan memotivasi para pengikut dengan: (a) membuat mereka lebih sadar mengenai pentingnya hasil-hasil suatu pekerjaan, (b) meminta individu mementingkan kepentingan tim di atas kepentingan pribadi, dan (c) mengubah tingkat kebutuhan (Hirarki Maslow) bawahan atau memperluas kebutuhan bawahan. Pemimpin yang transformasional mendapatkan komitmen lebih besar dari bawahan dan mendorong mereka mendahulukan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi bukan saja dengan kharismanya tapi juga dengan berperan sebagai pelatih, guru atau mentor (Bass, 1985; Yukl, 1989; Keller, 1992). Pada kepemimpinan transformasional menerapkan lebih dari sekedar pertukaran dan selalu berusaha meningkatkan perhatian, memberi stimulasi intelektual dan memberi inspirasi pada bawahan untuk lebih mementingkan kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi. Jenis kepemimpinan ini lebih dari sekedar transaksi konstruktif dan korektif.
Formulasi asli teori kepemimpinan transformasional mencakup tiga komponen: idealized influence (karisma), stimulasi intelektual (intelectual stimulation), dan perhatian individual (individualized consideration) (Bass, 1985). Sebuah revisi baru dari teori kepemimpinan transformasional, menambahkan perilaku transformasional lain yang disebut motivasi inspirasi (inspirational motivation) (Bass & Avolio, 1990). Sehingga secara keseluruhan terdapat 4 (empat) dimensi dalam kepemimpinan transformasional, yaitu:
1. Karisma (idealized influence/charisma). Pemimpin yang karismatik akan mampu menumbuhkan antusiasme dan loyalitas di kalangan para anggota organisasi, mendorong mereka untuk mengemukakan pendapat dan pandangan mereka secara bebas serta mampu mengarahkan perhatian mereka ke visi yang mengantisipasi situasi dan kondisi di masa datang.
2. Rangsangan intelektual (intelectual stimulation). Pemimpin yang memiliki intelektualitas mengajak para anggota organisasi untuk berpikir secara rasional serta menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Para bawahan juga didorong untuk berpikir dengan cara mereka sendiri, menghadapi tantangan, dan mempertimbangkan cara-cara yang kreatif untuk mengembangkan diri mereka sendiri.
3. Perhatian individual (individualized consideration). Pemimpin selalu memberikan perhatian pada persoalan yang dihadapi dan kebutuhan para anggota organisasi serta mau membantu memecahkan persoalan dan berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Para bawahan diperlakukan secara berbeda-beda tetapi adil dengan dasar perhatian satu per satu. Bukan saja kebutuhan mereka dikenali dan perspektif mereka ditingkatkan, tetapi pemimpin juga menyediakan sarana untuk mencapai tujuan secara lebih efektif, dan pekerjaan yang menantang juga diberikan kepada bawahan. Dengan perhatian individual, tugas-tugas diberikan kepada bawahan untuk memberikan kesempatan belajar.
4. Motivasi inspirasi (inspirational motivation), sering tumpang tindih dengan pengertian karisma, tergantung pada seberapa besar bawahan berusaha mengidentifikasikan diri mereka dengan pemimpin. Menetapkan simbol-simbol dan menyederhanakan himbauan-himbauan emosional untuk meningkatkan kesadaran dan pengertian mengenai tujuan bersama.
Perilaku-perilaku dimensi dari kepemimpinan transformasional tersebut saling berhubungan untuk mempengaruhi perubahan-perubahan pada para pengikut. Besarnya inspirasi yang ditimbulkan oleh pemimpin transformasional pada pengikutnya untuk menyelesaikan tujuan-tujuan yang lebih sulit, mendekati dan memecahkan masalah dengan cara-cara baru, dan meningkatkan kemampuan mereka, akan berhubungan langsung dengan prosentase sasaran yang akan dicapai oleh perusahaan. Dengan menggunakan inspirasi, karismatik, perhatian individual atau rangsangan intelektual, para pemimpin transformasional membantu pengikut menjadi lebih percaya untuk mencapai sasaran-sasaran yang ada dan bekerja sesuai dengan arah yang akan mengarah ke pencapaian sasaran yang lebih tinggi di masa yang akan datang.
Para pemimpin transformasional juga cenderung memperhatikan bawahan secara individual, berbagi rasa dan memperlakukan masing-masing sebagai individu. Para manajer yang memberi rangsangan intelektual mengubah cara pandang bawahan terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dengan membantu mereka memandang permasalahan-permasalahan lama dengan cara kreatif.
Lebih lanjut Tichy dan Devana (1986; pada Yukl, 1994) berusaha mengidentifikasikan dan menganalisis proses-proses yang khas yang terjadi bila para pemimpin mengubah dan menghidupkan kembali organisasi, perilaku-perilaku yang memudahkan proses tersebut, serta karakteristik-karakteristik dari ciri-ciri dan ketrampilan-ketrampilan para pemimpin transformasional. Proses tersebut dapat dipandang sebagai bagian dari tahap-tahap: (1) dimulai dengan pengakuan akan kebutuhan perubahan, (2) mengelola transisi perubahan, (3) menciptaan sebuah visi yang baru, dan (4) melembagakan perubahan-perubahan tersebut.
Pada setiap tahap dari proses transformasional tersebut, keberhasilan pemimpin sebagian akan tergantung kepada sikap, nilai, dan ketrampilan pemimpin tersebut. Para pemimpin transformasional yang efektif mempunyai atribut-atribut sebagai berikut: (1) mereka melihat diri mereka sendiri sebagai agen-agen perubahan, (2) mereka adalah para pengambil resiko yang berhati-hati, (3) mereka yakin pada orang-orang dan sangat peka terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka, (4) mereka mampu mengartikulasikan sejumlah nilai inti yang membimbing perilaku mereka, (5) mereka fleksibel dan terbuka terhadap pelajaran dari pengalaman, (6) mereka mempunyai ketrampilan kognitif, dan yakin pada pemikiran yang berdisiplin dan kebutuhan akan analisis masalah yang hati-hati, dan (7) mereka adalah orang-orang yang mempunyai visi dan mempercayai intuisi mereka.
Karena besarnya dampak kepemimpinan transformasional pada keinginan bawahan untuk berkinerja dengan baik, bila dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, kepemimpinan transformasional akan lebih berhubungan dengan rating kinerja. Faktor-faktor transaksional dan transformasional akan berhubungan dengan cara yang berlainan dengan berbagai aspek kepuasan bawahan dengan sistem pengukuran kinerja organisasi.
Beberapa bukti penelitian yang telah terakumulasi menyimpulkan, bahwa jenis kepemimpinan transformasional mempengaruhi kinerja karyawan dalam banyak cara yang secara kuantitatif dan kualitatif berbeda dengan jenis kepemimpinan lainnya contohnya kepemimpinan transaksional. Bass (1985; pada Waldman, Bass & Einstein, 1987) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional akan memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan kepemimpinan transaksional pada kinerja bawahan. Dengan memperjelas sasaran kerja dan imbalan-imbalan yang terkait pada para bawahan, para pemimpin transaksional meningkatkan usaha dan kinerja untuk mencapai sasaran. Di sisi lain, karena membangun inspirasi dan kepercayaan diri yang berhubungan dengan kepemimpinan transformasional, bisa diduga adanya usaha dan kinerja yang melebihi apa yang telah ditetapkan atasan. Hal ini akan tercermin pada evaluasi kinerja yang lebih tinggi yang diberikan kepada bawahan yang menganggap para pemimpin mereka transformasional. Di samping itu Bass (1985; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) juga berpendapat bahwa pemimpin transformasional dapat menggunakan tiga komponennya (charisma, individualized consideration, dan intellectual stimulation) untuk mengubah motivasi karyawan dan meningkatkan kinerja unit lebih dari yang telah diharapkan.
Bukti-bukti empiris juga menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional dan komponen-komponennya berhubungan positif dengan kinerja pada area penelitian yang berbeda-beda yaitu pada: studi lapangan (Curphy, 1992; Hater & Bass, 1988; pada Howell & Merenda, 1999; Howell & Avolio, 1993; Keller, 1992), penelitian historis (House, Spangler, & Woycke, 1991; pada Howell & Merenda, 1999), penelitian laboratorium (Howell & Frost, 1989; Kirkpatrick & Lacke, 1996; pada Howell & Merenda, 1999), dan penelitian meta analisis ( Lowe, Kroeck, & Sivasubramaniam, 1996; pada Howell & Merenda, 1999).
Lebih dari 35 penelitian mengenai pengaruh kepemimpinan menyimpulkan bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja karyawan (Kirkpatrick & Locke, 1996). Sedangkan Shamir, House, dan Arthur (1993) berpendapat bahwa lebih dari 20 penelitian menemukan adanya hubungan positif pemimpin kharismatik atau kepemimpinan transformasional terhadap kinerja, sikap, dan persepsi karyawan. Hasil meta analisis mengenai penelitian kepemimpinan transaksional dan transformasional menemukan bahwa baik pemimpin transaksional maupun pemimpin transformasional berhubungan positif dengan kinerja karyawan, meskipun pemimpin transformasional mempunyai hubungan positif yang lebih kuat dibanding pemimpin transaksional terjadap kinerja karyawan.
Penelitian Sosik, Avolio, dan Kahai (1997) yang mengevaluasi mengenai pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) dan anonymity level terhadap potensi dan keefektifan kelompok, menemukan bahwa pengaruh gaya kepemimpinan (transaksional dan transformasional) terhadap potensi dan keefektifan kelompok adalah positif. Hasil yang sama juga ditemukan pada penelitian Howell dan Avolio (1993), bahwa terdapat hubungan positif antara kepemimpinan transformasional dan kinerja perusahaan yang dinyatakan dalam bentuk kinerja unit bisnis terkonsolidasi. Begitu juga, penelitian Keller (1992) menyatakan bahwa pemimpin yang efektif dalam kelompok proyek R & D cenderung memberikan inspirasi dan menekankan pentingnya pelaksanaan tugas, merangsang cara-cara berpikir baru dan pemecahan masalah dan mendorong anggota kelompok bekerja lebih banyak dibanding yang ditentukan sehingga dapat meningkatkan kualitas proyek.
Sedangkan beberapa penelitian lainnya walaupun tidak secara langsung mengkaitkan hubungan antara kepemimpinan transformasional dengan kinerja karyawan, namun berusaha mengkaitkannya dengan: kinerja unit bisnis (Howell & Avolio, 1993); keefektifan kepemimpinan, upaya ekstra bawahan, dan kepuasan kerja (Bass & Seltzer, 1990); dan komitmen organisasi (Bycio, Hackett, & Allen, 1995; Koh, Steers, & Terborg, 1995).
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa para manajer yang berperilaku seperti pemimpin transformasional lebih berkecenderungan dipandang oleh para teman kerja dan karyawannya sebagai pemimpin yang memuaskan dan efektif dibanding mereka yang berperilaku seperti pemimpin transaksional, sesuai dengan respon dari para teman kerja, supervisor, dan karyawan pada Multifactor Leadership Questionaire (MLQ). Hasil yang sama ditemukan diberbagai setting organisasi. Para pemimpin yang diteliti berasal dari berbagai bagian organisasi: chief executive officers, senior manajer, dan manajer level menengah di perusahaan-perusahaan bisnis dan industri di Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan India; pemimpin-pemimpin proyek riset dan pengembangan; para pejabat militer angkatan darat di Amerika, Kanada, dan Inggris; pejabat senior angkatan laut di Amerika Serikat; taruna angkatan laut di Annapolis; penyelenggara pendidikan; dan para pemimpin agama.



D. Pemberdayaan Psikologis (Psychological Empowerment)
Pemberdayaan (empowerment) menjadi isu manajemen dan bisnis yang telah menjadi bahasa sehari-hari di kalangan praktisi manajemen dan sumber daya manusia. Bagi perusahaan berskala global, pemberdayaan bahkan menjadi bagian integral dalam kegiatan manajerialnya. Perusahaan menerapkan pemberdayaan sebagai bagian dari upaya pengembangan keunggulan kompetitif di tengah persaingan global. Dalam penerapannya, pemberdayaan memerlukan pendekatan baik dari pihak manajemen/pimpinan untuk rela memberi tugas, tanggung jawab, dan wewenang kepada karyawan disertai kepercayaan maupun dari pihak karyawan untuk terus mengembangkan potensi diri guna menjalankan tugas/tanggungjawab yang dipercayakan.
Pilihan manajemen untuk menerapkan pemberdayaan amat tepat sebab situasi dan perubahan pasar menuntut inovasi, kemampuan, dan kecepatan perubahan untuk beradaptasi. Pemberdayaan didefinisikan sebagai keyakinan pengikut akan kemampuan mereka sendiri, atau kemampuan organisasi atau unit tempat mereka bekerja, untuk mengatasi hambatan dan mengontrol peristiwa (Behling & McFillen, 1996).
Pemberdayaan melebihi delegasi wewenang. Karyawan diperlakukan sebagai mitra kerja sehingga ikut merasa memiliki dan bertanggung jawab atas aset perusahaan. Dengan pemberdayaan, karyawan diberi kemampuan dan kesempatan untuk merencanakan, mengimplementasikan, dan mengendalikan implementasi dari rencana pekerjaan yang menjadi tanggung jawab karyawan atau tanggung jawab kelompok (Nangoi, 2001). Pemberdayaan harus disertai dengan pemberian kekuasaan (power) dan tanggung jawab yang lebih besar kepada karyawan dan berimplikasi positif bagi peningkatan kompetensi/kapasitas mereka. Dengan pemberdayaan, tenaga kerja diharapkan dapat melakukan pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan secara baik.
Pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan atasan/pimpinan jelas perlu diimbangi dengan tingkat kemampuan dan pengetahuan karyawan akan tugas yang harus dijalankannya. Dalam pemberdayaan, karyawan harus dipastikan: (1) memiliki pengetahuan (knowledge) yang memadai dalam melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka, (2) memahami visi yang akan dituju organisasi, (3) memiliki komitmen terhadap visi organisasi, dan (4) memanfaatkan smart technologies untuk menerapkan pengetahuan mereka dalam pembuatan produk dan penyediaan jasa bagi konsumen.
Para peneliti dan praktisi organisasi telah mengidentifikasikan pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) sebagai konstruk yang perlu memperoleh perhatian kritis. Meluasnya minat terhadap masalah pemberdayaan psikologis muncul pada saat persaingan global dan berbagai perubahan yang terjadi sehingga mengharuskan anggota organisasi untuk lebih memiliki inisiatif dan inovatif (Drucker, 1988; pada Spreitzer, 1995).
Thomas & Velthouse (1990) telah mengusulkan pandangan-pandangan alternatif tentang pemberdayaan yang dibedakan antara atribut situasional (contohnya: praktek-praktek manajemen) dengan kognisi pekerjaan dari atribut-atribut tersebut (contohnya: pemberdayaan psikologis). Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) menyatakan bahwa praktek-praktek manajemen hanyalah merupakan satu rangkaian kondisi dan praktek tersebut tidak selalu berhasil untuk memperkuat keinginan para pegawai tanpa dilengkapi dengan pemberdayaan psikologis dari karyawan tersebut.
Conger dan Kanungo (1988; pada Spreitzer, 1995) mendefiniskan pemberdayaan psikologis sebagai konsep motivasional tentang pemenuhan diri, yang secara lebih spesifik dapat dinyatakan sebagai meningkatnya motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation) yang terwujud dalam serangkaian kognisi yang mencerminkan orientasi individu pada peran kerjanya yang terwujud dalam empat dimensi: arti (meaning), kompetensi (comptence), pemenuhan diri (self-determination), dan pengaruh (impact). Motivasi tugas intrinsik (intrinsic task motivation) dapat diartikan sebagai apa yang dirasakan oleh individu yang secara langsung dirasakan dari tugas atau kerjanya. Penjelasan dari masing-masing dimensi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Arti (meaning), adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan (Thomas & Velthouse, 1990). Arti mencakup suatu kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku (Brief & Nord, 1990; Hackman & Oldham, 1980; pada Spreitzer, 1995).
2. Kompetensi (competence), mempunyai arti yang sama dengan self-efficacy, yaitu keyakinan individu atas kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan dengan keahlian yang dimilikinya (Gist, 1987; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi merupakan keyakinan, penguasan pribadi, atau pengharapan yang berkaitan dengan usaha dan hasil kerja (Bandura, 1989; pada Spreitzer, 1995). Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan peran kerja secara luas yang sering kali diistilahkan dengan self-esteem.
3. Penentuan diri (self-determination), adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam mengawali dan mengatur tindakan (Deci, Connell, & Ryan, 1989; pada Spreitzer, 1995). Penentuan diri merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan proses kerja, misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan (Bell & Staw, 1989; Spector, 1986; pada Spreitzer, 1995).
4. Pengaruh (impact), adalah tingkat dimana individu dapat mempengaruhi hasil-hasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja (Ashforth, 1989; pada Spreitzer, 1995). Lebih jauh lagi, pengaruh berbeda dari locus of control, dimana pengaruh dipengaruhi oleh lingkup kerja, sedangkan internal locus of control merupakan karakteristik kepribadian global yang berlaku dalam semua situasi (Wolfe & Robertshaw, 1982; pada Spreitzer, 1995).
Secara bersama-sama, keempat dimensi tersebut merefleksikan orientasi terhadap suatu peran kerja secara aktif. Orientasi aktif yang dimaksudkan di sini adalah orientasi dimana individu berkeinginan dan merasa mampu melaksanakan peran dalam konteks kerjanya. Keempat dimensi di atas tergabung membentuk keseluruhan konstruk pemberdayaan psikologis, atau dengan kata lain, apabila salah satu dimensi tidak ada, maka tingkat pemberdayaan yang diperoleh juga tidak maksimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberdayaan psikologis meliputi variabel individual (locus of control) dan variabel struktural sosial (desain kerja, iklim kerja, dan sistem reward) (Spreitzer, 1995).
Sejumlah asumsi umum tentang definisi pemberdayaan perlu dijelaskan lebih jauh. Pertama, pemberdayaan bukanlah karakteristik kepribadian yang tahan lama dan bisa digeneralisasikan dalam semua situasi, namun lebih merupakan serangkaian kognisi yang terbentuk oleh lingkungan kerja (Thomas & Velthouse, 1990). Dengan demikian, pemberdayaan mencerminkan persepsi individu tentang dirinya dalam kaitannya dengan lingkungan kerja (Bandura, 1989; pada Thomas & Velthouse, 1990). Kedua, pemberdayaan merupakan variabel yang kontinyu, individu bisa dilihat sebagai individu yang memperoleh pemberdayaan besar atau kecil, bukan individu yang memperoleh pemberdayaan dan tidak memperoleh pemberdayaan. Ketiga, pemberdayaan bukan merupakan konstruk global yang bisa digeneralisasikan dalam berbagai peran dan situasi kehidupan, namun hanya terbatas pada bidang kerja. Studi mengenai pemberdayaan psikologis didasarkan pada lingkungan kerja, bukan didasarkan pada penilaian global.

E. Substitut Kepemimpinan (Substitutes for Leadership)
Kerr dan Jermier (1978; pada Yukl 1994) telah mengembangkan sebuah model untuk mengidentifikaskan aspek-aspek situasi yang mengurangi pentingnya kepemimpinan bagi para manajer dan para pemimpin formal lainnya. Teori tersebut membuat perbedaan antara dua jenis variabel situasional: substitute (substitusi/pengganti) dan neutralizer (penetral).
Substitute membuat perilaku pemimpin itu tidak perlu dan berkelebihan. Substitute mencakup setiap karakteristik dari bawahan, tugas, dan organisasi yang memastikan agar para bawahan dengan jelas memahami peran mereka, pengetahuan mengenai cara melakukan tugasnya, sangat termotivasi, dan puas dengan pekerjaan mereka. Sedangkan neutralizer adalah setiap karakteristik dari tugas atau organisasi yang menghalangi seorang pemimpin untuk bertindak dalam suatu cara spesifik atau yang menghapus efek-efek tindakan-tindakan pemimpin tersebut. Misalnya, kurangnya kekuasan seorang pemimpin untuk memberi imbalan bagi kinerja yang efektif, merupakan suatu hambatan situasional yang bertindak sebagai suatu neutralizer, sedangkan kurangnya minat terhadap suatu insentif yang ditawarkan pemimpin tersebut merupakan sebuah kondisi yang membuat perilaku tersebut menjadi tidak ada artinya.
Seperti dikatakan oleh Howell, Bowen, Dorfman, Kerr, dan Podsakoff (1990; pada Yukl, 1994),”……..substitut kepemimpinan berfokus kepada apakah para bawahan menerima bimbingan mengenai tugas serta insentif untuk berbuat tanpa menganggap selalu benar bahwa pemimpin formal tersebut adalah pemasok yang utama.”
Sebenarnya, substitute adalah aspek-aspek situasi yang menyebabkan variabel-variabel intervensi berada pada tingkat optimal, sedangkan neutralizer merupakan hambatan-hambatan yang mencegah atau mengecilkan hati pemimpin tersebut untuk melakukan hal-hal untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang sekarang terdapat pada variabel-variabel intervensi. Dalam praktiknya substitute dan neutralizer sangat sulit untuk dibedakan, dan istilah substitutes for leadership (substitusi kepemimpinan) seringkali digunakan sebagai istilah umum bagi keduanya.
Pada substitut kepemimpinan tercakup 3 (tiga) karakteristik utama dan 12 (duabelas) dimensi. Penjelasan dari masing-masing karakteristik dan dimensi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Karakteristik Bawahan (characteristics of subordinates), terdiri dari 4 dimensi:
a. Kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan (ability, experience, training, and knowledge)
Bila para bawahan mempunyai kemampuan, pengalaman, pelatihan, dan pengetahuan sebelumnya yang ekstensif, maka sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan karena mereka sudah mempunyai ketrampilan dan pengetahuan untuk mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Mereka mempunyai kompetensi untuk bekerja secara independen atau tidak tergantung pada atasan mereka dalam melakukan pekerjaannya sehari-hari. Mereka tidak tergantung pada atasan dalam hal memperoleh data, informasi, maupun nasehat.
b. Orientasi profesional (professional orientation)
Para profesional yang secara internal termotivasi oleh nila-nilai, kebutuhan-kebutuhan, dan etika, mereka tidak perlu dorongan dari pemimpin tersebut untuk melakukan pekerjaan yang berkualitas tinggi. Para profesional mempunyai perhatian lebih pada proses kerja yang sesuai dengan disiplin ilmunya dan bukan pada evaluasi kerja nantinya.
c. Tidak tergantung terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi (indifference toward organizational rewards).
Pada tingkat tertentu penghargaan akan memotivasi individu, tergantung pada apakah:
1. Kompensasi yang ditawarkan perusahaan berarti atau penting bagi individu.
2. Kenaikan kompensasi tergantung pada kinerja.
3. Bawahan yakin bahwa usaha yang lebih akan menghasilkan imbalan yang lebih tinggi.
Namun kadangkala bawahan bersikap acuh terhadap imbalan yang ditawarkan organisasi. Misalnya, bawahan yang menginginkan lebih banyak waktu untuk berada dengan keluarganya tidak akan termotivasi oleh tawaran uang yang lebih banyak agar mau bekerja lebih banyak beberapa jam.
d. Keinginan karyawan untuk mandiri (subordinate need for independence)
Para bawahan menginginkan otonomi lebih di tempat kerjanya. Mereka menginginkan kontrol lebih pada bagaimana pekerjaan harus dilakukan melalui beberapa program yang fleksibel.

2. Karakteristik tugas (characteristics of tasks), teridir dari 3 dimensi:
a. Kejelasan, kerutinan, dan metodologi dari riset (unambiguous, routine, methodologically invariant tasks).
Substitut lain bagi kepemimpinan instrumental adalah sebuah tugas sederhana dan yang diulang-ulang. Para bawahan dapat dengan cepat belajar ketrampilan yang sesuai bagi jenis pekerjaan tanpa pelatihan dan instruksi yang ekstensif dari pemimpin.
b. Adanya umpan balik dari tugas (task provided feedback concerning accomplishment).
Bilamana tugas atau pekerjaan memberi umpan balik (feedback) secara otomatis tentang bagaimana baiknya pekerjaan dilaksanakan, maka pemimpin tidak perlu lagi memberikan umpan balik. Misalnya, sebuah studi telah menemukan bahwa para pekerja dalam sebuah perusahaan yang mempunyai networked computer system dan computer integrated manufacturing tidak membutuhkan banyak supervisi karena mereka mampu untuk memperoleh arus balik mengenai produktivitas serta kualitas secara langsung dari sistem informasi tersebut, dan mereka dapat memperoleh bantuan dalam memecahkan masalah-masalah dengan memintanya kepada orang lain dalam jaringan kerja tersebut (Lawler, 1988; pada Yukl, 1994).
c. Tugas yang secara intrinsik memuaskan (intrinsically satisfying tasks).
Jika pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan menarik dan menyenangkan, maka para bawahan dapat cukup termotivasi oleh pekerjaan itu sendiri tanpa bantuan apa pun dari pemimpin dalam mendorong dan memberi mereka inspirasi. Sebagai tambahan, sebuah pekerjaan yang sangat menarik dan menyenangkan dapat digunakan sebagai sebuah substitut bagi kepemimpinan yang mendukung dalam kaitannya dengan memastikan suatu tingkat kepuasan kerja yang tinggi.

3. Karakteristik organisasi (characteristics of organization) terdiri dari 6 dimensi:
a. Tingkat formalitas dari organisasi (organizational formalization)
Dalam organisasi-organisasi yang mempunyai peraturan, pengaturan, dan kebijakan-kebijakan tertulis, sedikit saja pengarahan yang dibutuhkan segera setelah peraturan-peraturan serta kebijakan-kebijakan tersebut dipahami oleh para bawahan.
b. Tingkat kekakuan dari organisasi (organizational inflexibility)
Peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan dapat membantu sebagai suatu neutralizer maupun sebagai suatu substitute bila peraturan atau kebijakan tersebut tidak fleksibel (kaku) sehingga menghalangi seorang pemimpin untuk membuat perubahan-perubahan dalam penugasan pekerjaan atau dalam prosedur-prosedur untuk memudahkan usaha-usaha para bawahan.
c. Dukungan dari penasehat dan staf (advisory and staff support)
Dukungan dan kerjasama dari penasehat maupun staf di luar departemen atau unit kerja merupakan substitut bagi kepemimpinan. Para bawahan cukup melakukan kerjasama dengan staf lain untuk mendapatkan informasi, data, dan laporan guna melengkapi pekerjaan tanpa bantuan pemimpin.
d. Tingkat kohesivitas dari kelompok kerja (closely-knit, cohesive, interdependent work groups)
Substitut lain bagi kepemimpinan yang mendukung adalah sebuah kelompok yang sangat kohesif (cohesive) atau solider, yang di dalamnya para bawahan memperoleh dukungan psikologis satu sama lainnya bilamana diperlukan. Solidaritas kelompok (group cohesiveness) dapat mensubstitusi usaha-usaha kepemimpinan untuk memotivasi para bawahan bila tekanan-tekanan sosial terjadi bagi masing-masing anggota, untuk membuat kontribusi yang signifikan kepada tugas kelompok. Sebaliknya, solidaritas dapat digunakan sebagai suatu neutralizer bila hubungan dengan manajemen itu jelek, dan tekanan sosial dilakukan untuk membatasi produksi.
e. Penghargaan organisasi yang berada di luar kontrol pemimpin (organizational rewards not within the leader’substitutes for leadership control)
Sebuah sistem imbalan otomatis seperti komisi atau bagi hasil dapat mensubstitusi penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan. Position power yang terbatas atau serikat kerja yang kuat cenderung akan mentralisir penggunaan imbalan dan hukuman oleh seorang pemimpin untuk memotivasi para bawahan.
f. Jarak atau ruang antara pemimpin dan karyawan (spatial distance between superior and subordinate).
Perilaku pemimpin yang mendukung dan yang instrumental dinetralisir bila para bawahan secara geografis terpencar dan tidak sering mempunyai kontak dengan pemimpin mereka.

F. Organizational Citizenship Behavior
Meskipun Katz (1964, pada Williams & Anderson, 1991) telah membedakan antara perilaku in-role dan extra-role lebih dari 25 tahun yang lalu, hal ini belum membuktikan bahwa pengukuran perilaku extra-role yang dilaksanakan oleh supervisor benar-benar berbeda dari pengukuran perilaku in-role. Perbedaan yang mendasar antara perilaku in-role dengan perilaku extra-role adalah pada reward. Pada in-role biasanya dihubungkan dengan reward dan sanksi (hukuman), sedangkan pada extra-role biasanya terbebas dari reward dan perilaku yang dilakukan oleh individu tidak diorganisir dalam reward yang akan mereka terima (Morrison, 1994). Tidak ada insentif tambahan yang diberikan ketika individu berperilaku extra-role.
Organizational citizenship behavior (OCB) dilihat secara luas sebagai faktor yang memberikan sumbangan pada hasil kerja organisasi secara keseluruhan. Pemimpin memainkan peran penting dalam mendorong pencapaian OCB dengan cara meningkatkan sikap positif karyawan (misalnya: melalui kepuasan kerja, keadilan, dan komitmen organisasi). Organizational citizenship behavior oleh peneliti OCB didefinisikan terpisah dari kinerja in-role (bekerja sesuai dengan tugas dan deskripsi kerja), dan menekankan OCB sebagai kinerja extra- role (Bateman & Organ, 1983; Smith et al., 1983; pada Van Dyne, Graham, & Dienesch, 1994). Organizational citizenship behavior seringkali didefinisikan sebagai perilaku individu yang mempunyai kebebasan untuk memilih, yang secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem reward, dan memberi kontribusi pada keefektifan dan keefisienan fungsi organisasi (Organ, 1988; pada Williams & Anderson, 1991). Sedangkan Organ (1988; pada Williams & Anderson, 1991) mendefinisikan OCB sebagai perilaku dan sikap yang menguntungkan organisasi yang tidak bisa ditumbuhkan dengan basis kewajiban peran formal maupun dengan bentuk kontrak atau rekompensasi. Contohnya meliputi bantuan pada teman kerja untuk meringankan beban kerja mereka, tidak banyak beristirahat, melaksanakan tugas yang tidak diminta, dan membantu orang lain untuk menyelesaikan masalah.
Peran penting OCB adalah mampu memperbaiki dan meningkatkan keefektifan dan keefisienan organisasi melalui transformasi sumberdaya, proses inovasi, dan proses adaptasi. Beberapa bentuk dari OCB adalah:
1. Mengutamakan kepentingan orang lain, misalnya dengan membantu rekan kerja dalam suatu proyek
2. Bekerja dengan teliti, termasuk di dalamnya menggunakan waktu kerja yang ada tanpa membuang waktu
3. Civic virtue, misalnya: selalu mencari informasi baru.
4. Sportif, termasuk bekerja tanpa mengeluh
5. Berusaha menghindari masalah dengan melakukan pengecekan terlebih dahulu, tidak mudah dipengaruhi saat diprovokasi
Secara konseptual OCB dapat dibedakan menjadi dua kategori: OCBO dan OCBI. OCBO adalah perilaku-perilaku yang bermanfaat bagi organisasi pada umumnya (misal: kehadiran di tempat kerja melebihi norma yang berlaku dan mentaati peraturan-peraturan informal yang ditetapkan untuk memelihara ketertiban). Sedangkan OCBI adalah perilaku-perilaku yang secara langsung bermanfaat bagi individu itu sendiri dan tidak secara langsung juga bermanfaat bagi organisasi (misal: membantu orang lain yang tidak masuk kerja dan bersedia membantu karyawan baru).
G. Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior
Berbagai studi telah menguji bagaimana perilaku kepemimpinan seperti yang dilukiskan oleh para bawahan pada MLQ berhubungan dengan berbagai kriteria tentang efektifitas kepemimpinan seperti penilaian kinerja oleh para atasan dan tingkat komitmen terhadap pekerja seperti yang dilaporkan oleh para bawahan (Avolio & Howell, 1992; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Waldman, Bass, & Einstein, 1987; Waldman, Bass, & Yammarino, 1990; Yammarino & Bass, 1990; pada Yukl, 1994; Hater & Bass, 1998; Seltzer & Bass, 1990). Dalam studi-studi tersebut, perilaku-perilaku dari kepemimpinan transformasional biasanya berkorelasi lebih kuat dengan beberapa variabel kriteria daripada perilaku-perilaku kepemimpinan transaksional, tetapi beberapa perilaku kepemimpinan transaksional (misal: contingent reward dan management by exception active) adalah juga relevan bagi efektifitas dari pemimpin. Hasil-hasil dari penelitian tersebut mendukung konklusi bahwa para pemimpin yang efektif menggunakan sebuah campuran perilaku kepemimpinan transformasional dan perilaku kepemimpinan transaksional.
Selain itu, beberapa penelitian empiris dan meta analisis menyimpulkan bahwa kepemimpinan transaksional dan transformasional mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap OCB. Walaupun beberapa penelitian secara konsisten menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepemimpinan transaksional dan kinerja karyawan, Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa kepemimpinan transaksional (contingent reward dan management by exception) sebenarnya mempunyai hubungan positif dengan kepuasan kerja dan keefektifan penilaian yang dipersepsikan oleh bawahan. Dengan menggunakan hierarchical regression analysis, hasil penelitian menemukan bahwa kepemimpinan transformasional memberikan tambahan pengaruh melebihi kepemimpinan transaksional yang dinyatakan dengan peningkatan F ratio dari 87,88 menjadi 141,62.
Hal ini didukung oleh penelitian Koh, Steers, dan Terborg (1995) yang menguji pengaruh langsung perilaku pemimpin transformasional dan kepemimpinan transaksional yang dihubungkan dengan komitmen organisasi, OCB, kepuasan terhadap pemimpin, dan kinerja objektif (produktivitas, turnover, dan absensi). Hasil analisis dengan menggunakan hierarchical regression analysis yang terdiri dari 864 pengajar di Singapura, menemukan bahwa kepemimpinan transformasional secara signifikan menambah pengaruh kepemimpinan transaksional dalam memprediksi komitmen organisasi, OCB, kepuasan, dan kinerja obyektif para pengajar.
Sebenarnya salah satu teori kepemimpinan yang paling sesuai untuk memahami OCB adalah teori kepemimpinan transformasional (Bass, 1997; pada Sekiguchi, 2000). Bryman (1992; pada Fuller et al., 1999) berpendapat bahwa perilaku pemimpin transformasional berhubungan positif dengan sejumlah outcomes organisasi termasuk extra effort, OCBs, dan kepuasan kerja. Podsakoff, Mac Kenzie, Moorman, dan Fetter (1990; pada Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer, 1996) berpendapat bahwa meskipun pengaruh pemimpin transformasional terhadap kinerja in-role adalah penting namun tidak sepenting pengaruhnya pada kinerja extra-role (OCBs). Pada OCB, pemimpin transformasional memotivasi bawahan untuk bekerja melebihi tugas formalnya sehingga memberikan kontribusi pada keefektifan organisasi. Di bawah kepemimpinan transformasional, karyawan merasa percaya dan respect kepada pemimpin dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari yang diharapkan oleh pemimpin mereka.
Hipotesis 1: Perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan menjelaskan variansi OCB melebihi yang dapat dijelaskan oleh perilaku kepemimpinan transaksional.
H. Pemberdayaan Psikologis sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior
Salah satu variabel yang secara signifikan mampu meningkatkan pengaruh positif perilaku kepemimpinan khususnya kepemimpinan transformasional terhadap berbagai outcomes organisasi adalah pemberdayaan psikologis (Spreitzer, 1995; Thomas & Velthouse, 1990; pada Fuller et al., 1999).
Pemberdayaan psikologis sebagai salah satu variabel situasional diyakini mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap berbagai outcomes diantaranya adalah terhadap kepuasan kerja. Penelitian Liden, Wayne, dan Sparrowe (2000) menggunakan variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel mediating yang memediasi hubungan antara karakteristik kerja, Leader Member Exchange (LMX), Team Member Exchange (TMX), dan outcomes (kepuasan kerja, komitmen organisasional, dan kinerja karyawan). Hasil penelitian menemukan bahwa dimensi arti (meaning) dan kompetensi (competence) dari dimensi-dimensi pemberdayaan psikologis memediasi hubungan antara karakteritik kerja dan kepuasan kerja, sedangkan dimensi arti (meaning) itu sendiri juga memediasi hubungan antara karakteristik kerja dan komitmen organisasi. Sebaliknya, pemberdayaan psikologis tidak memediasi hubungan antara LMX, TMX, dan variabel outcomes. LMX dan TMX berhubungan langsung dengan komitmen organisasional, sedangkan TMX berhubungan langsung dengan kinerja tanpa dimediasi oleh pemberdayaan psikologis.
Pemberdayaan psikologis berhubungan signifikan dengan kepemimpinan. Pendapat ini dibuktikan oleh penelitian Spreitzer, DeJanasz, dan Quinn (1999) yang menguji hubungan antara pemberdayaan psikologis dan kepemimpinan (lebih berfokus pada kepemimpinan yang berorientasikan pada perubahan). Alat analisis LISREL digunakan untuk menguji hipotesis-hipotesis yang menyatakan bahwa pemberdayaan berhubungan positif terhadap perilaku inovatif, berpengaruh, dan memberikan inspirasi pada bawahan serta berhubungan negatif dengan status quo. Pengujian dilakukan pada supervisor level menengah dari beberapa organisasi yang tergabung dalam Fortune 500. Hasil penelitian menemukan bahwa supervisor yang mempunyai pemberdayaan psikologis yang tinggi adalah supervisor yang innovatif, berpengaruh, dan penuh dengan inspirasi.
Tipe kepemimpinan lain yang berkorelasi kuat dengan OCB ditemukan pada tipe kepemimpinan transformasional. Penelitian Graham (1988; pada Koh, Steers, & Terborg, 1995) menemukan bukti adanya hubungan konseptual antara kepemimpinan trasformasional dan OCB melalui proses pemberdayaan bawahan. Selanjutnya Graham menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional mampu memfasilitasi pemberdayaan bawahan melalui beberapa dimensinya: perhatian individual (individualized consideration) dengan menciptakan kesempatan-kesempatan bagi bawahan dan rangsangan intelektual (stimulation intelectual) dengan mendorong bawahan untuk berpikir dan berperilaku inovatif.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Fuller et al. (2000), dengan menguji variabel pemberdayaan psikologis sebagai variabel moderator. Penelitian Fuller et al. (1999) dengan menggunakan sampel 230 perawat, meneliti mengenai pengaruh perilaku kepemimpinan transformasional terhadap kepuasan kerja yang dimoderasi oleh pemberdayaan psikologis. Moderated Regression Analysis dilakukan untuk menguji pengaruh interaksi antara kepemimpinan transformasional dan pemberdayaan (empowerment) terhadap kepuasan kerja. Hasil penelitian menemukan bahwa pemberdayaan psikologis memoderasi hubungan antara tiga dari empat dimensi kepemimpinan transformasional dan kepuasan kerja.
Meskipun belum cukup tersedia bukti-bukti empiris mengenai hubungan perilaku kepemimpinan terhadap OCB yang dimoderasi oleh pemberdayaan psikologis, dari hasil-hasil korelasi pada beberapa penelitian yang telah diuraikan di atas, menunjukkan bahwa pemberdayaan psikologis mampu memoderasi perilaku kepemimpinan terhadap berbagai outcomes. Sehingga hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah:
Hipotesis 2: Pemberdayaan psikologis memoderasi pengaruh perilaku kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional terhadap OCB.

I. Subsitutes For Leadership sebagai Variabel Pemoderasi Perilaku Kepemimpinan Transaksional dan Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior
Howell, Dorfman, dan Kerr (1986; pada Bass 1985) telah mengklasifikasikan beberapa variabel moderator dari kinerja kepemimpinan dan pengaruh-pengaruhnya sebagai: penetral (neutralizer), peningkat (enhacers), pelengkap (supplement), dan subsitut kepemimpinan (substitutes for leadership). Namun dari beberapa penelitian mengenai variabel moderator kepemimpinan, yang paling banyak mendapat perhatian adalah substitut kepemimpinan.
Semenjak satu setengah dekade yang lalu, model substitut kepemimpinan dari Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff & MacKenzie, 1994) telah mendorong menculnya perhatian besar dari kalangan peneliti seperti dalam bidang perilaku organisasional, pendidikan, pemasaran, manajemen lintas budaya, dan manajemen pegawai profesional. Dalam hal ini, presentasi teori dari Kerr dan Jermier dianggap oleh banyak pihak sebagai teori klasik yang dibahas dalam hampir semua teks tentang perilaku dan kepemimpinan organisasional yang ada saat ini..
Seperti yang telah dicatat oleh beberapa penulis (Yukl, 1989; Podsakoff, MacKenzie, & Fetter, 1993; Podsakoff, Niehoff, MacKenzie, & Williams, 1993; Williams et al., 1988; pada Podsakoff& MacKenzie, 1994), model substitut kepemimpinan dari Kerr dan Jermier memiliki sejumlah keuntungan potensial dibandingkan dengan pendekatan-pendekatan situasional lainnya. Pertama, model ini mempresentasikan hal yang paling komprehensif dalam mengidentifikasikan faktor-faktor yang bisa memoderasi pengaruh perilaku pemimpin pada sikap, perilaku, dan persepsi bawahan, sehingga secara potensial bisa sangat membantu dalam menjelaskan mengapa sejumlah perilaku pemimpin tertentu efektif dalam situasi tertentu, namun tidak efektif dalam situasi yang lainnya. Kedua, model substitut kepemimpinan juga lebih memfokuskan pada faktor-faktor organisasional yang mungkin berpengaruh pada efektifitas perilaku pemimpin. Terakhir, model ini memberikan sejumlah pandangan tentang situasi yang dihadapi dimana pemimpin mungkin ingin membentuk substitut kepemimpinan yang dalam lingkungan tersebut mampu meningkatkan efektifitas organisasi.
Pada dasarnya, model substitut kepemimpinan mengasumsikan bahwa terdapat berbagai variabel situasional yang bisa mengganti (substitutes), menetralkan (neutralizers), atau meningkatkan (enhacers) pengaruh-pengaruh dari perilaku pemimpin. Dengan demikian, substitut kepemimpinan tersebut bisa menghapuskan atau mengganti kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi hasil kerja dan sikap kerja para karyawan.
Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mendefinisikan substitut kepemimpinan sebagai sesuatu yang dapat bertindak atau dapat dipergunakan sebagai pengganti pemimpin, sehingga menjadikan kepemimpinan tidak mungkin dibentuk atau tidak diperlukan lagi. Dengan demikian, substitut kepemimpinan adalah sesuatu yang mengurangi kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi variabel-variabel kriteria bawahan dan menggantikan pengaruh pemimpin. Sebagai tambahan, dalam konsep substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) dan penetral (neutralizers) mengasumsikan bahwa segala sesuatu dalam lingkungan seorang pemimpin juga berperan dalam meningkatkan hubungan antara perilaku-perilaku tertentu dari pemimpin dengan variabel-variabel kriteria dari bawahan. Selanjutnya dalam prakteknya, istilah substitut kepemimpinan (substitutes for leadership) digunakan untuk mengacu kedua istilah substitut dan penetral.
Secara lebih jelasnya, substitut kepemimpinan adalah variabel yang membuat pemimpin menjadi tidak diperlukan. Apabila pengganti pemimpin ada, maka pemimpin tersebut secara otomatis diperkirakan hanya akan sedikit atau tidak memberikan pengaruh sama sekali pada kepuasan dan hasil kerja para bawahan. Secara logis dan empiris, substitut kepemimpinan berpengaruh secara langsung pada hasil kerja bawahan, sementara pemimpin tidak berpengaruh. Substitut kepemimpinan berperan seperti penetral yang meniadakan pengaruh pemimpin atas hasil kerja bawahan atau dilihat sebagai penetral khusus yang mengurangi kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi sikap, persepsi, dan hasil kerja bawahan, serta secara efektif menggantikan pengaruh perilaku pemimpin (Howel, Dorfman, & Kerr, 1986; pada Bass, 1985).
Variabel-variabel yang diidentifikasikan sebagai substitut kepemimpinan adalah: karakteristik bawahan (kemampuan, pengalaman, pelatihan, atau pengetahuan bawahan; orientasi profesional; keinginan untuk mandiri; dan sikap terhadap penghargaan organisasional), karakteristik tugas (tugas yang secara intrinsik memuaskan, tugas yang rutin dan metodologis; dan masukan atau umpan balik tugas), dan karakteristik organisasional (tingkat formalisasi organisasional; tingkat kohesivitas kelompok kerja; jumlah staf dan/atau dukungan atasan; penghargaan organisasional di luar kontrol pemimpin; dan jarak spesial antara pemimpin dengan bawahan).
Kerr dan Jermier (1978; pada Posakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) mengusulkan serangkaian variabel substitut kepemimpinan yang mereka yakini bisa secara umum memoderasi pengaruh perilaku pemimpin terhadap variabel-variabel kriteria bawahan. Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) mengadakan pengujian meta analisis guna memperkirakan secara lebih tepat hubungan bivariate antara perilaku pemimpin dan substitut kepemimpinan terhadap beberapa variabel kriteria karyawan yang terdiri dari: kepuasan, komitmen organisasi, role ambiguity, role conflict, kinerja in-role, dan OCB. Hasil temuan dengan menggunakan alat analisis LISREL menunjukkan bahwa gabungan antara variabel-variabel substitut kepemimpinan dan perilaku pemimpin menjelaskan sebagian besar varian dalam sikap dan persepsi peran para karyawan serta sebagian besar varian dari hasil kerja di dalam dan di luar peran kerja; serta rata-rata substitut kepemimpinan menjelaskan lebih banyak varian dalam variabel-variabel kriteria dibandingkan dengan perilaku pemimpin itu sendiri.
Secara empiris model substitut kepemimpinan ini masih belum banyak diterapkan pada bentuk kepemimpinan transaskional maupun kepemimpinan transformasional, namun lebih banyak diterapkan pada tipe kepemimpinan yang lainnya. Sebagai contoh, dalam spesifikasi model mereka, Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) secara eksplisit menyatakan bahwa substitut kepemimpinan haruslah memoderasi pengaruh perilaku pemimpin yang supportif, yang selanjutnya oleh banyak peneliti dianggap sebagai bentuk kepemimpinan transformasional (Avolio & Bass, 1988; Bass, 1985; Bass, Avolio, & Goodheim, 1987; Bass, Waldman, Avolio, & Bebb, 1987; Conger & Kanungo, 1987; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996).
Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) dalam penelitiannya tentang pengaruh pemimpin transformasional terhadap kepuasan, komitmen, kepercayaan, kinerja in-role dan OCB yang dimoderasi oleh substitut kepemimpinan telah membedakan kinerja karyawan menjadi kinerja in role dan kinerja extra role atau sering disebut dengan istilah OCB. Dalam penelitiannya, Podsakoff, MacKenzie, dan Bommer (1996) menguji mengenai pengaruh perilaku kepemimpinan transformasional dalam konteks substitut kepemimpinan yang dikembangkan oleh Kerr dan Jermier. Data dikumpulkan dari 1539 karyawan berasal dari berbagai industri organisasi dan tingkatan level kerja yang berbeda. Hasil analisis data dengan menggunakan hierarchical moderated regression menunjukkan bahwa hanya sedikit variabel-variabel dari substitut kepemimpinan yang memoderasi perilaku kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, role perceptions, kinerja in-role, dan OCB. Selain itu, hasil analisis juga menunjukkan bahwa: (1) perilaku kepemimpinan transformasional dan substitut kepemimpinan masing-masing mempunyai pengaruh yang unik terhadap beberapa variabel kriteria dari karyawan, dan (2) dimensi-dimensi perilaku kepemimpinan transformasional secara signifikan berhubungan dengan dimensi-dimensi substitut kepemimpinan.
Di samping daya tarik intuitif yang sangat luas, dukungan empiris atas model substitut kepemimpinan ini bisa dikatakan belum memadai. Kerr dan Jermier (1978; pada Podsakoff, MacKenzie, & Bommer, 1996) berpendapat bahwa satu-satunya cara yang paling sesuai untuk menguji pandangan bahwa variabel-variabel substitut kepemimpinan akan mengubah atau mengganti pengaruh perilaku pemimpin adalah dengan mempelajari apakah variabel-variabel substitut kepemimpinan tersebut memoderasi hubungan antara perilaku pemimpin dengan variabel-variabel kriteria bawahan. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengajukan hipotesis kedua sebagai berikut:
Hipotesis 3: Substitut kepemimpinan memoderasi pengaruh perilaku kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan transformasional terhadap OCB.

birokrasi di indonesia

. Pengertian birokrasi
Birokrasi ialah sebuah konsep sosiologi dan sains politik yang merujuk kepada cara bagaimanapun pentabiran melaksanakan dan menguatkuasakan peraturan-peraturan yang sah secara sosial. Pengurusan ini disifatkan dengan tatacara piawai, pembahagian tanggungjawab yang formal, hierarki, dan hubungan tidak peribadi.
Perkataan "birokrasi" berasal daripada perkataan "biro" yang digunakan pada awal abad ke-18 di Eropah Barat, bukan untuk merujuk kepada meja tulis tetapi untuk pejabat, iaitu tempat bekerja. Maksud bahasa Perancis yang asal bagi perkataan biro ialah baize yang digunakan untuk melitupi meja-meja. Istilah "birokrasi" bermula digunakan tidak lama sebelum Revolusi Perancis pada tahun 1789 dan dari sini, tersebar dengan pantas ke negara-negara yang lain. Akhiran bahasa Greek — kratia atau kratos — bermaksud "kuasa" atau "pemerintahan". Oleh itu, "birokrasi" pada dasarnya bermaksud kuasa pejabat atau pemerintahan pejabat, iaitu pemerintahan golongan pegawai.
Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bureau + cracy), diartikan sebagai An Organization, such as an administratitive agency or the army, with the following general traits: a chain of commnad with fewer people at the top than at the bottom; well defined positions and responsibilities; fairly inflexible rules and procedures; “red tape”; many forms to filled out; and delegation of authority downward from level to level.
Birokrasi dapat juga diartikan sebagai
1. Government by many bureaus, administrators, and petty officials,
2. The body of officials and administrators, esp. of a government or government department,
3. Excessive multiplication of, and concentration of power in, administrative bureaus or administrators,
4. Administration characterized by excessive red tape and routine (Stuart Berg Flexner:1987).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :
1. sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan, dan
2. cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya didefinisikan sebagai
1. sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dan
2. cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.
Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected).
B. Sejarah Birokrasi
Dalam sepucuk surat pada 1 Julai 1764, Baron de Grimm dari Perancis mengisytiharkan: "Kita terlalu memikirkan idea pengawalan, dan Pengetua-pengetua Permintaan (Masters of Requests) kita enggan memahami bahawa terdapat banyak perkara di dalam sebuah negara yang kerajaannya harus tidak melibatkan diri." Jean Claude Marie Vincent de Gournay kekadang mengatakan: "Kita mempunyai sejenis penyakit di Perancis yang mengucar-ngacirkan kita; penyakit ini dipanggil biromania". Kekadang, beliau menciptakan bentuk kerajaan yang keempat atau kelima di bawah nama "birokrasi". Dalam lagi sepucuk surat pada 15 Julai 1765, Baron Grimm menulis juga: "Maksud yang tersirat dalam undang-undang di Perancis ialah birokrasi yang selalu disungut oleh mendiang Monsieur de Gournay; di sini, pejabat, kerani, setiausaha, pemeriksa, dan intendan tidak dilantik untuk memanfaatkan kepentingan awam, tetapi sebaliknya kepentingan awam diasaskan supaya pejabat-pejabat itu dapat mewujud." (Baron de Grimm dan Diderot, Correspondance littéraire, philosophique et critique, 1753-69, edisi 1813, Jilid 4, m.s. 146 & 508 - dipetik oleh Martin Albrow, Birokrasi. London: Percetakan Pall Mall, 1970, m.s. 16).
Petikan ini merujuk kepada perbalahan tradisional terhadap birokrasi, iaitu peputarbelitan antara cara dan hasil sehingga cara menjadi hasil pada dirinya, dan kebaikan birokrasi dilupakan; sebagai natijah, ini merupakan penggantian kepentingan bahagian dengan kepentingan am. Cadangan di sini ialah bahawa jika birokasi dibiarkan sahaja dan tidak dikawal, ia semakin akan mementingkan diri dan menjadi korup, berbanding memberikan perkhidmatan kepada masyarakat.
Bagaimanapun, birokrasi telah lama wujud sebelum perkataan-perkataan dan teori-teori ini direka untuk memberikan pemerihalan yang terperinci. Umpamanya, Dinasti Song China (960) membina sebuah birokrasi terpusat yang dianggotai oleh pegawai-pegawai awam daripada golongan cendekiawan. Sistem pemerintahan ini menyebabkan penumpuan kuasa yang lebih berkesan di tangan maharaja dan birokrasi istana berbanding yang dapat dicapai oleh dinasti-dinasti terdahulu.

Jika dilihat dari keluhan masyarakat tentang kinerja birokrasi pemerintahan, kenyataan tersebut telah lama ada sejak pemerintahan itu sendiri ada, dan jika dilihat dari kurun waktu dalam upaya mem-perbaiki kinerja birokrasi, kenyataan terse-but usianya juga sudah sangat tua. Meski-pun demikian, masalah kinerja birokrasi sampai dengan dewasa ini, masih saja tetap hangat dipersoalkan oleh banyak pihak.
Mengapa kinerja birokrasi diperma-salahkan? Sebab, birokrasi kalau dilihat dari sudut pandang administrasi sebagai suatu sosok organisasi pelayanan, di mana kriteria utama untuk menilai organisasi yang tidak menghasilkan keluaran fisik tersebut adalah dengan performance atau penampilan organisasi itu (Stogdill, 1971:33). Sedangkan konsep penampilan sendiri mengarah pada pelaksanaan operasi, kegiatan, program atau misi suatu organisasi sehingga, Jenegreen mengartikan penampilan organisasi adalah seberapa jauh tingkat kemampuan pelaksanaan tugas-tugas organisasi dari suatu sistem yang telah ditentukan berdasar faktor situasional pada proses pelaksanaan dalam organisasi (Thompson, 1971:33).
Atas dasar asumsi-asumsi tersebut di atas, maka penampilan sebuah organisasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: faktor internal organisasi dan faktor eksternal yang berupa lingkungan yang erat kaitannya dengan karakteristik atau jenis organisasi tersebut dalam mencerminkan misinya (Bennis, 1967:23).
Adapun misi yang diemban oleh birokrasi dapat dilihat dari kegiatan pelayanannya, dimana keberhasilan pelaksanaan tugas -tugas birokrasi dalam memberikan pelayanan tidak terlepas pada suatu pola interaksi antara dua pihak yang saling berhubungan, yaitu organisasi birokrasi yang menyediakan jasa pelayanan di satu pihak, dan masyarakat (klien) sebagai pemanfaat jasa pelayanan di lain pihak. Oleh karenanya keberhasilan pelayanan se-perti ini sangat ditentukan oleh hubungan kedua pihak tersebut, yang menurut Syahrir ada dua cara dalam melihatnya.
Pertama, kualitas pelayanan seperti: apa -kah yang diberikan sudah memuaskan atau belum bagi masyarakat, dan apakah pelayanan yang dilaksanakan sudah efisien atau belum. Dan kedua, kuantitas pelayanan, dalam bentuk angka apakah masyarakat yang dilayani meningkat atau tidak, apakah hasil yang diperoleh mengalami kenaikan atau tidak.
Mengacu pada uraian tersebut di atas, maka tampak determinan utama keberhasilan pelayanan dari sebuah organisasi adalah bagaimana menciptakan delivery mechanism yang tepat pada masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan sebagai kemampuan organisasi di dalam mendistribusikan jasa pelayanan pada konsumen. Namun, pada realitanya menentukan suatu distribusi pelayanan yang adil dan merata bagi masyarakat adalah pekerjaan yang sulit dilakukan. Karena kesulitan inilah maka masalah pemerataan pelayanan pada masyarakat merupakan fenomena yang sering muncul dalam kaitannya dengan distribusi pelayanan publik yang acap kali dikaitkan pula pada kinerja organisasi penyedia jasa pelayanan tersebut.

A. Adaptasi dengan Birokrasi
Mengapa harus birokrasi? Sebab salah satu bentuk organisasi yang digunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan pelayanan publik adalah organisasi birokratik. Mengapa demikian?
Bermula ketika Max Weber mengenalkan pengamatannya tentang bureaucrationally, yang melihat sosok birokrasi sebagai alat yang bermanfaat bagi pelaksanaan rasionalitas terhadap tugas-tugas administrasi sehingga bisa mencapai efisiensi,walau pun Weber tidak pernah mendefinisikan birokrasi yang dimaksud secara jelas, akan tetapi hasil pengamatan Weber tersebut kemudian dikukuhkan Hegel yang memandang birokrasi tersebut dapat dijadikan sebagai alat penghubung antara negara dan masyarakat . Sehingga sampai dengan dewasa ini birokrasi pemerintah menjadi alat yang sangat utama dan paling dominan peranannya dalam pelaksanaan tugas-tugas negara (Effendi, 1987:3).
Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah birokrasi pemerintah kemudian menjadi satu - satunya organisasi yang memiliki akses penguasaan atas seluruh sumber -sumber negara. Hal ini dapat terjadi oleh karena birokrasi dianggap mampu untuk menangani segala macam tugas-tugas pemerintah dan berbagai bentuk pelayanan publik .Namun, ironinya studi-studi lain memperoleh kesimpulan bahwa organisasi birokratik ternyata tidak mampu dan tidak cocok untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, karena betapapun baik dan efisiennya birokrasi, selalu mengandung didalamnya ciri dan keterbatasan yang tidak selalu cocok untuk melaksanakan tugas -tugas pelayanan.
Birokrasi telah mempunyai pola kerja yang sudah mapan, dan langkah-langkah tindakan harus selalu mengikuti kebijaksanaan umum atau menunggu petunjuk dari atasan, melalui jalur -jalur formal dan jenjang hierarkhis yang panjang. Aparat birokrasi tidak cukup punya kegiatan untuk mengambil keputusan atau bertindak kurang cepat, kurang fleksibilitas untuk menyesuaikan kondisi setempat, dan kurang punya kepekaan memperhatikan masalah khusus dan kebutuhan khas kelompok masyarakat yang sering muncul silih berganti. Kondisi tersebut, menyebabkan sering-kali para aparat birokrasi tidak mampu menemukan problem-problem khusus dalam masyarakat karena kapasitas yang terbatas, dan seringnya terjebak ke dalam gejala masalah atau fenomena sosial yang tampak di permukaan kemudian dipandang sebagai masalah yang sebenarnya, sehingga kesalahan dalam mengidentifikasikan masalah ini akan berakibat juga salahnya keputusan yang diambil. Karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh para pelaku dalam organisasi birokrasi tersebut mengakibatkan kecenderungan dalam keputusannya ke arah penyeragaman dan mengabaikan pluralitas, sehingga menyebabkan banyak kebijakan dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi pemerintah kurang dapat memenuhi aspirasi masyarakat banyak, sulitnya mengadopsi kepentingan masyarakat dalam birokrasi pemerintah diakibatkan sifat –sifat birokrasi pemerintah yang stabil dan mekanistik.
Kondisi ini menyebabkan sejumlah peneliti menyelidiki tentang adanya saling hubungan antara lingkungan masyarakat dengan struktur organisasi. Dalam mencari format struktur yang tepat, salah satu di antara mereka yang melakukan penelitian tentang hubungan struktur organisasi dengan lingkungan masyarakat ini adalah Burn dan Stalker. Mereka menyatakan lingkungan masyarakat yang berbeda menghendaki struktur organisasi yang berbeda pula (Stalker, 1981:119-122; Kast & Rosenzweig, 1970:6). Mereka menemukan dua struktur organisasi yang relatif berbeda disebut mekanistik dan organik yang memiliki ciri -ciri sebagai berikut:
Dalam Tabel Jenis Struktur Organisasi tampak bahwa sistem mekanistik dianggap sebagai kesatuan yang relatif tetap dan baku, sedang sistem organik dipandang lebih luwes dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan ma-syarakatnya. Akan tetapi pada kenyata-annya, perubahan-perubahan pranata sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat, seringkali tidak diikuti dengan perubahan-perubahan mekanisme kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanannya, sehingga acapkali kita mendengar “kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit?” atau sebaliknya, “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah?” Banyak anggapan bahwa birokrasi sangat lamban dan tidak efisien dalam menanggapi per -ubahan, kurang dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan pembangunan dan ang-gapan yang lebih keras birokrasi dianggap menghambat proses pembangunan.
Pada era reformasi, birokrasi dituntut untuk berubah sikap dan perilaku agar dapat melayani masyarakat dengan baik. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi baik yang berlangsung cepat (revolusi) maupun yang berlangsung dengan lambat (evolusi) menuntut pada rganisasi birokrasi untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan -perubahan tersebut, sebab bukankah perubahan selalu mengandung unsur perbedaan. Namun, di dalam mengamati kondisi lingkungan masyarakat di mana organisasi birokrasi itu berada, bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, sebab kondisi lingkungan masyarakat memiliki ciri-ciri spesifik yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu untuk memahami kondisi lingkungan tersebut maka Ducan dalam penelitiannya mengidentifikasikan beberapa ciri dari berbagai lingkungan yang dihadapi organisasi (Ducan, 1984:320).
Kalau kita amati kembali ciri-ciri ter-sebut, maka keadaan lingkungan dapat dibedakan menjadi tiga dimensi utamayaitu :
a. Pertama, dimensi sederhana - rumit. Pada dimensi ini didasarkan tingkat kerumitan dan sifat kualitatif lingkungan. Sehingga, lingkungan yang sederhana adalah lingkungan dengan sejumlah faktor luar yang sedikit dan relatif homogen yang harus dihadapi oleh organisasi dan sebaliknya, lingkungan yang rumit, adalah lingkungan dengan sejumlah faktor yang banyak dan relatif heterogen yang harus dihadapi oleh organisasi.
b. Kedua, dimensi statis - dinamis. Pada dimensi ini, didasarkan pada tingkat kesesuaian pola hubungan antara organisasi dengan lingkungannya. Sehingga, lingkungan dinamis adalah lingkungan yang selalu berubah-ubah memerlukan struktur organisasi yang berlainan daripada lingkungan statis yang relatif tetap.
c. Dan ketiga, adalah dimensi ketidakpastian lingkungan. Pada dimensi ini, memper - padukan antara dimensi sederhana-rumit dengan dimensi statis-dinamis, tersebut di atas, sehingga membentuk konfigurasi lingkungan yang statis-sederhana, tingkat ketidakpastian lingkungannya rendah dan lingkungan yang dinamis-rumit tingkat ketidakpastian lingkungannya tinggi.
Berangkat dari asumsi tersebut di atas maka organisasi yang berusaha mengkaitkan dirinya dengan kondisi lingkungannya agar efektif dituntut untuk memiliki:
a. Pertama, adalah tingkat keterdugaan keadaan lingkungan.
Pada kondisi ini, mempertanyakan tingkat ketidakpastian dalam hubungan antara organisasi dengan lingkungannya. Semakin besar ketidakpastian, maka semakin kecil kemungkinan untuk dapat diduga, sehingga kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungannya berhasil. Dimungkinkan terutama oleh kemampuannya untuk mengetahui bagaimana keadaan lingkungannya dan peluang yang mereka miliki untuk bertindak sesuai dengan itu.
b. Kedua, persepsi keadaan lingkungan. Pada kondisi ini, mempertanyakan masalah ketepatan persepsi mengenai apa yang mereka lihat dari kondisi lingkungannya, karena persepsi ini mungkin sesuai atau mungkin pula tidak sesuai dengan kenyataan obyektif. Sehingga, petepatan dalam mempersepsikan keadaan lingkungannya, memungkinkan organisasi memberikan tanggapan dan mengadakan penyesuaian yang tepat juga akan menjadi semakin besar, tetapi jika persepsi ini keliru, maka pengaruh negatifnya terhadap keberhasilan organisasi ini dapat besar sekali artinya
c. Dan ketiga, adalah tingkat rasionalitas organisasi. Pada kondisi ini, mempertanyakan batas tindakan rasionalitas dalam keputusan dan kegiatan yang berkaitan dengan lingkungannya, karena betapapun mudahnya lingkungan diduga dan bagaimanapun tepatnya persepsi mengenai keadaan lingkungan, organisasi tetap harus menentukan cara bertindak untuk menanggapi perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Sehingga semakin rasional proses pemilihan dalam arti pemilihan berbagai alternatif yang ada, maka semakin besar kemungkinan bahwa tanggapan yang dipilih akan cocok dengan tuntutan lingkungannya.
Kalau kita memperpadukan jenis struktur organisasi hasil temuan Burns dan Stalker dengan kondisi lingkungan hasil temuan Ducan, maka akan tampak bahwa struktur organisasi yang mekanistik merupakan rancangan yang lebih tepat digunakan dalam kondisi lingkungan statis sederhana yang memiliki tingkat ketidakpastian lingkungan rendah karena lingkungan dengan kondisi seperti itu gerakannya mudah diduga. Sehingga tugas-tugas bisa dibuat rutin dan teratur, sedangkan struktur organisasi yang organik merupakan rancangan yang lebih tepat digunakan dalam kondisi lingkungan dinamis-rumit yang memiliki tingkat ketidakpastian lingkungan yang tinggi karena lingkungan dengan kondisi seperti itu, gerakannya sulit diduga. Sehingga organisasi harus terus menerus mengubah arah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan tersebut.
Berangkat dari studi yang dilakukan Saxena dan Bennis, menghilangkan keseluruhan sifat -sifat birokrasi yang stabil dan mekanistik itu adalah pekerjaan yang sulit dilakukan, akan tetapi sifat tersebut hanya dapat dikurangi dengan yang lebih bersifat organis dan adaptif (Effendi, 1989:33) yang berorientasi pada proses, sehingga menciptakan organisasi yang lebih mementingkan kesesuaian antara organisasi dengan kondisi lingkungan sosial masyarakatnya. Dengan demikian, pelayanan publik akan lebih mampu untuk melaksanakan tugasnya, dan lebih terbuka terhadap gagasan peningkatan kapasitas, yang pada akhirnya akan dapat men-ciptakan akses yang lebih terbuka pula baik dari bawah ( bottom-up) maupun dari atas (top-down) untuk terlibat. Perubahan orientasi dan proses birokrasi yang demikian pada akhirnya akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.

B. Jenis Pelayanan
Mengapa jenis pelayanan birokrasi harus dikenali? Sebab organisasi jenis seperti ini memiliki keterbatasan dalam memberikan pelayanannya pada masyarakat. Berangkat dari keterbatasan inilah biasanya organisasi pelayanan membentuk pola pelayanan yang bagi sebagian masyarakat dianggap tidak masuk akal--persyaratan prosedur yang berbelit dari mekanisme yang ditentukan birokrasi pemerintah dalam mendapatkan pelayannya, dan sebagainya,dan tambah tidak masuk akal lagi kalau kita berharap bahwa birokrasi akan dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi masyarakat.
Pupusnya harapan masyarakat bahwa birokrasi akan dapat memberikan pelayanan untuk dapat menyelesaikan persoalan-nya, menyebabkan masyarakat enggan berurusan dengan birokrasi pemerintah,terbukti dengan adanya “jalan belakang”, “uang pelicin”, “jalan tol” dan sebagainya yang mereka sebut “birokrasi amplop” yang pada intinya memotong prosedur untuk mendapatkan pelayanan atas prosedur yang panjang dari birokrasi pemerintahan itu. Dan kita tidak akan pernah habis membicarakan seluk-beluk ruwetnya mekanisme dari prosedur birokrasi pemerintah itu di sepanjang masa kalau kita tidak pernah bisa memahami keterbatasan yang melekat pada organisasi birokrasi pemerintah itu sendiri tanpa harus permisive terhadap pelayanan yang diberikan, tapi bukankah mau tidak mau, terpaksa atau tidak terpaksa kita tetap berurusan dengan birokrasi pemerintah dalam kehidupan bernegara ini.
Buruknya kinerja birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan pada masyarakat ini, menggambarkan bahwa betapa kompleks persoalan organisasi birokratik yang begitu mekanistik dihadap-kan pada persoalan masyarakat yang begitu heterogen, kondisi demikian menyebabkan organisasi birokrasi membentuk sejumlah pola yang digunakan untuk membagi-bagikan pelayanan pada masyarakatnya.
Pertama, adalah pola pelayanan yang sama bagi semua, dalam pola ini terbatas daya serapnya, karena kemampuan pelayanan pemerintah terbatas sehingga tidak bisa digunakan secara sama oleh semua warga negara. Hal ini menyebabkan tipe pelayanan pada pola ini yang pada mulanya untuk semua. Oleh karena keter-batasan yang ada justru merancang pola yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sekelompok masyarakat tertentu saja.
Kedua, pola pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, dalam pola ini menyarankan suatu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Kondisi ini tampak lebih pragmatis sebab pola pelayanan ini menyediakan dasar yang kongkrit dan lebih obyektif untuk dibagikan pada masyarakat. Di sisi lain pola pelayanan ini memungkinkan dapat disediakannya pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Ketiga, adalah pola pelayanan yang tidak sama bagi individu -individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan, dalam pola pelayanan ini perbedaan pelayanan berdasarkan pada ciri –ciri yang dimiliki oleh para penerima pelayanan (Frederickson, 1984:70 -72). Menyimak pola pelayanan tersebut di atas, maka akan tampak dua dimensi dalam melihat masalah keadilan distribusi pelayanan organisasi birokrasi pemerintah -an pada masyarakatnya.
Pertama, memberikan pelayanan di antara orang-orang yang beraneka ragam itu harus ditentukan lebih dahulu kriteria dalam membagikan pelayanan -pelayanan di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Kedua, pemberian pelayanan itu harus dilakukan dengan memberikan perlakuan yang sama pada pihak-pihak yang sama. Meskipun demikian, pada realitanya tidak semudah apa yang ditampilkan sebab pola pelayanan tersebut di atas menuntut sejumlah besar informasi dan cara organisasi birokrasi itu menangani informasi tersebut dalam menerapkan distribusi pada pola pelayanannya.
Di sisi lain, organisasi birokratik yang begitu mekanistik memiliki keterbatasan kemampuan dalam menyerap informasi dari lingkungan masyarakat yang begitu kompleks. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan seringnya terjadi kesalahan dalam kinerja birokrasi itu, sebab: pertama, kurangnya informasi mengenai faktor lingkungan yang bertalian dengan situasi khusus pengambilan keputusan organisasi tersebut. Kedua, ketidakmampuan organi -sasi itu untuk secara tepat menetapkan kemungkinan mengenai cara faktor -faktor di lingkungan masyarakat tersebut mampu mempenga-ruhi keberhasilan atau kegagalan sebuah unit penentu dalam melaksanakan fungsinya. Ketiga, kurangnya informasi mengenai kerugian yang harus dipikul akibat keputusan atau langkah yang keliru (Steers, 1985:104-105).
Berangkat dari masalah yang begitu kompleks di masyarakat sebagai si pengguna jasa pelayanan dan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi dalam mengadopsi masalah masyarakat tersebut sebagai si penyedia pelayanan, maka organisasi pemerintah membutuhkan sejumlah besar informasi dan data yang ada di masyarakat. Namun, dalam kenyataannya menghimpun sejumlah besar informasi di masyarakat tidak semudah yang dibayangkan. Misal, ketika pertama kali dilakukan pendataan kemiskinan di daerah, hampir semua daerah menyembunyikan informasi yang sebenarnya, sebab dikaitkan dengan prestasi daerah -- kepentingan individu pejabat daerah--yang diukur dengan ting-kat kemakmuran masyarakatnya, sehingga tingkat kemiskinan sangat sedikit di daerah menyebabkan data tersebut sangat tidak signifikan. Akan tetapi, ketika diberitahukan bahwa pendataan kemiskinan tersebut berkaitan dengan sejumlah bantuan yang akan diberikan, pada saat yang sama pula data tersebut dengan serta merta berubah dan menunjukkan tingkat kemiskinan sangat banyak di daerah, menyebabkan data tersebut juga tidak signifikan. Kondisi seperti ini menyebabkan organisasi biro kratik tersebut sulit membaca masalah yang sebenarnya terjadi di tengah -tengah masyarakat tersebut Apabila mengacu pada kondisi tersebut di atas menyebabkan organisasi birokrasi hanya membedakan dua masalah di dalam pengamatannya pada masyarakat, yaitu ma salah individu atau masalah publik yang akan dimasukkan dalam agenda pelayanannya. Meskipun, sudah disederhanakan hanya dengan dua masalah yang berbeda tersebut, namun pada kenyataannya dalam membaca apa dan siapa di balik masalah tersebut masih menjadi bahan pertimbangan bagi organisasi birokrasi pemerintah dalam melakukan pelayanannya, sehingga di dalam prakteknya acapkali terjadi modifikasi dan pembalikan sejumlah informasi dari masalah yang sebenarnya terjadi di masyarakat guna mendapatkan pelayan-an dari organisasi birokratik itu. Memodifikasi dan pembalikan fakta yang ada di masyarakat adalah seni dan cara tersendiri dari sekelompok orang dalam memperjuangkan masalah individunya menjadi masalah publik. Seringkali kita dengar mengatasnamakan “untuk kepentingan masyarakat” tanpa tahu masyarakat yang mana? Atau mungkin “masyarakat -nya tidak tahu kalau kepentingannya sedang diperjuangkan sekelompok orang itu?” Ataukah “untuk kepentingan seke -lompok orang tersebut?”
Kekaburan data dan informasi seperti ini justru akan lebih memburukkan kinerja organisasi birokrasi pemerintah tersebut dalam memberikan pelayanannya dan tanpa disadari kelompok tersebut bahwa dirinya telah menjebak organisasi birokrasi itu pada posisi yang sangat dilematis dengan mengaburkan informasi di satu sisi sambil menyalahkan kinerja organisasi birokrasi itu di sisi yang lain. Kondisi ini menunjukkan lingkungan masyarakat di satu sisi menyediakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh organisasi birokrasi itu, dan di sisi lain ling kungan masyarakat menawarkan batas dan hambatan bagi aktivitas organisasi birokrasi tersebut (Bryant & White, 1987:65). Kondisi tersebut juga menyebabkan organisasi birokratik mengalami kekaburan peran dan fungsinya dalam melakukan tugasnya sebab diposisikan pada posisi yang sangat sulit.
Masalahnya terletak pada bagaimana masyarakat mampu memposisikan organisasi birokrasi tersebut menjadi pelayan yang baik dengan segala keterbatasan yang ada ,bukankah setiap bentuk layanan apapun yang kita terima di dalamnya selalu mengisyaratkan batasan-batasan tertentu di satu sisi sedangkan di sisi lain bagaimana organisasi birokrasi mampu me-muaskan semua pihak, bukankah setiap individu dalam masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik.Pada posisi seperti ini akan tampak dua kutub yang berseberangan yaitu tuntutan masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang terbaik dengan keterbatasan kemampuan organisasi birokrasi sebagai penyedia jasa pelayanan tersebut.
Salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan karena Pemerintah tidak menaruh perhatian yang serius terhadap perubahan budaya organisasi. Budaya organisasi amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi. Karena itulah perusahaan bersedia mengeluarkan dana yang amat besar untuk mengubah budaya perusahaan (corporate culture) agar selalu sesuai dengan lingkungannya yang selalu berubah dengan cepat.
Sebaliknya, birokrasi pemerintahan negara kurang punya perhatian terhadap perubahan lingkungan karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah. Budaya sistem birokrasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi: keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”, Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan”. Nilai-nilai dan perilaku yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan amanah antara lain adalah: demokratis, adil, costconsious, transparan, akuntabel. Pada organisasi baru, membangun budaya sistem birokrasi yang sesuai dengan misinya lebih mudah melakukannya. Tetapi dalam organiisasi kementerian dan lembaga non-departemen di pusat dan dinas serta lembaga non-dinas di daerah, nilai dan perilaku sudah berkembang menjadi tradisi yang sukar berubah.

C. Unsur – Unsur Birokrasi
Hal – hal penting yang perlu diketahui agar birokrasi Indonesia membaik adalah :
1. Konsep Kebijakan
Informasi mengenai kinerja birokrasi publik terjadi karena kinerja belum dianggap sebagai suatu hal yang penting oleh penierintah. Tidak tersedianya informasi mengenai indikator kinerja birokrasi publik menjadi bukti dan ketidakseriusan pemerintah untuk menjadikan kinerja pelayanan publik sebagai agenda kebijakan yang penting. Kinerja pejabat birokrasi tidak pernah menjadi pertimbangan yang penting dalam mempromosikan pejabat birokrasi. Daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP3) yang selama ini dipergunakan untuk menilai kinerja pejabat birokrasi sangat jauh relevansinya dengan indikator-indikator kinerja yang sebenarnya. Akibatnya, para pejabat birokrasi tidak memiliki insentif untuk menunjukkan kinerja sehingga kinerja birokrasi cenderung menjadi amat rendah.
Pemerintah terhadap birokrasi seringkali tidak ada hubungannya dengan kinerJà birokasinya. misalnya, dalam rnenentukan anggaran birokrasinya, pemerintah sama sekali idak mengaitkan anggaran dengan kinerja birokrasi. Anggaran birokrasi publik selama ini lebih didasarkan atas input, bukan cutput. Anggaran yang ditcrima oleh sebuah birokrasi publik lebih ditentukan oleh kebutuhan, bukan oleh hasil yangakan diberikan oleh birokrasi itu pada masyarakatnya. Akibatnya, dorongan untuk mewujudkan hasil dan kinerja cenderung rendah dalam kehidupan birokrasi publik.
Karena anggaran sening menjadi driving force dari perilaku birokrasi dan para pejabatnya, mengaitkan anggaran yang ditçnirna oleh sebuah birokrasi publik dengan hasil atau kinerja bisa menjadi salah satu faktor yang mendorong perbaikan kinerja birokrasi publik. Para pejabat birokrasi yang ingin memperoleh anggaran yang besar menjadi terdorong untuk menunjukkan kmerja yang balk. Kalau ini dapat dilakukan, data dan informasi mengenai kinerja birokrasi publik niscaya akan tersedia sehingga penilaian kinerja birokrasi publik juga menjadi lebih mudah dilakukan.
Faktor lain yang menyebabkan terbatasnya informasi mengenai kinerja birokrasi publik adalah kompleksitas indikator kinerja yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik. Berbeda dengan swasta yang indikator kinerjanya relatif sederhana dan tersedia di pasar, indikator kinerja birokrasi sering sangat kompleks. Hal ini terjadi karena birokrasi publik memiliki stakeholders yang sangat banyak dan memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Perusahaan bisnis memiliki stakeholders yang jauh lebih sedikit, pemilik dan konsumen, dan kepentingannya relatif mudah dintegrasikan. Kepentingan utarna peinilik perusahaan ialah selalu memperoleh keuntungan, sedarigkan kepentingait utama konsuuen biasanya adalait kualitas produk dan harga yang terjangkau. Stakeholders dan birokrasi publik, seperti masyarakat pengguna jasa, aktivis sosial dan partai, wartawan, dan para penggusaha sering berkepentingan berbeda-beda dan berusaha mendesakkan kepentingannya agar diperhatikan oleh birokrasi publik. Penilaian kinerja birokrasi publik karenanya cenderung menjadi jauh lebih kompleks dan sulit dilakukan daripada di perusahaan bisnis. Penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi itu seperti efisiensi dan efektivitias, tetapi harus dilihat juga dan indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas, dan responsivitas. Penilaian kinerja dan sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik seringkali memiliki kewenangan monopolis sehingga para pengguna jasa tidak memiliki alternatif sumber pelayanan. Dalam pelayanan yang diselenggarakan oleh pasar, yang pengguna jasa memiliki pilihan sumber pelayanan, penggunaan pelayanan bisa mencerminkan kepuasan terhadap memberi layanan. Dalam pelayanan oleh birokrasi publik, penggunaan pelayanan oleh publik sering tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepuasannya terhadap pelayanan. Kesulitan lain dalam menilai kinerja birokrasi publik muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya sangat kabur, tetapi jugabersifat multidimensional. Kenyataan bahwa birokrasi publik mernilild stakeholders yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu dengan lainnya membuat birokrasi publik mengalaini kesulitan untuk merumuskan inisi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholders juga berbedabeda. Namun, ada beberapa indikator yang biasanya digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik (Dwiyanto, 1995), yaitu sebagai berikut.
1. Produktivitas
Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tingkat efisiensi, tetapi juga efektivitas pelayanan. Produktivitas pada umumnya dipahaini sebagai rasio antara input dengan output. Konsep produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba mengembangkan satu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukkan seberapa besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan sebagai salah satu indikator kinerja yang penting.
2. Kualitas Layanan
Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Dengan deinikian, kepuasaan masyarakat terh.dap Lyanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. Keuntungan utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi mengenai kepuasan masyarakat seringkali tersedia secara mudah dan murah. Informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dan media massa atau diskusi pubilk. Akibat akses terhadap informasi mengenai kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan relatif sangat tinggi, maka bisa menjadi satu ukuran kinerja organisasi publik yang mudah dan murah dipergunakan. Kepuasan masyarakat bisa menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat responsivitas di sini menunjuk pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan dengan kcbutuhan dan azpirasi.
Kumorotorno (1996) menggunakan beberapa kriteria untuk dijddikan pedoman dalam menilai kirerja organisasi pelayanan publik, antara lam, adalah berikut ini:
1. Efisiensi
Efisiensi menyangkut pertimbangan tentang keberhasilan organisasi pelayanan publik mendapatkan laba, memanfaatkan faktor-faktor produksi serta pertimbangan yang berasal dari rasionalitas ekonomis. Apabila diterapkan secar objektif, kriteria. seperti likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas merupakan kriteria efisiensi yang sangat relevan.
2. Efektivitas
Apakah tujuan dan didirikannya organisasi pelayanan publik tersebut tercapai? Hal tersebut erat kaitannya dengan rasionalitas teknis, nilai, misi, tujuan organisasi, serta fungsi agen pembangunan.
3. Keadilan
keadilan mempertanyakan distnibusi dan alokasi layanan yang diselenggarakanoieh organisasi pelayanan publik. Kriteria ini erat kaitannya dengan konsep ketercukupan atau kepantasan. Keduanya mempersoalkan apakah tingkat efektivitas tertentu, kebutuhan dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat terpenuhi. Isu-isu yang mnyangkut pemerataan pembangunan, layanan kepada kelompok pinggiran dan sebagainya, akan mampu dijawab melalui kriteria ini.
4. DayaTanggap
Berlainan dengan bisnis yang dilaksanakan oleh perusahaan awasta, organisasi pelayanan publik merupakan bagan diri daya tanggap negara atau pemerintah akan kebutuhan vital masyarakat. Oleh sebab itu, kriteria organisasi tersebut secara keseluruhan harus dapat dipertanggungjawabkan secara transparan demi memenuhi kriteria daya tanggap.
Salim & Woodward (1992) melihat kinerja berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan persamaan pelayanan. Aspek ekonorni alam kinerja diartikan sebagai strategi untuk menggunakan sumber daya yang senunimal mungkin dalam proses penyelenggaraan kegiatan pelayanan publik. Efisiensi kinerja pelayanan publik juga dilihat untuk menunjuk suatu kondisi tercapainya perbandingan terbaik/proporsional antara input pelayanan dengan output pelayanan. Deinikian pula, aspek efektivitas kinerja pelayanan ialah untuk melihat tercapainya pemenuhan tujuan atau target pelayanan yang telah ditentukan. Prinsip keadilan dalam pemberian pelayanan publik juga dilihat sebagai ukuran untuk menilai seberapa jauh suatu ventuk pelayanan telah memperhatikan aspek-aspek keadilan dan membuat publik memiliki akses yang sama terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan.
Zeithaini, Parasuraman, dan Berry (1990) mengemukakan bahwa kinerja pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui berbagai indikator yang sifatnya fisik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang baik dapat dilihat melalui aspek fisik pelayanan yang diberikan, seperti tersedianya gedung pelayanan yang representatif, fasilitas pelayanan berupa televisi, ruang tunggu yang nyaman, peralatan pendukung yang memiliki teknologi canggih, niisalnya komputer, penampilan aparat yang menarik di mata pengguna jasa, seperti seragam dan aksesoris, serta berbagai fasilitas kantor pelayanan yang memudahkan akses pelayanan bagi masyarakat.
Berbagai perspektif dalam melihat kinerja pelayanan publik di atas memperlihatkan bahwa indikator-indikator yang dipergunakan untuk menyusun kinerja pelayanan publik ternyata sangat bervariasi. Secara garis besar, berbagai parameter yang dipergunakan untuk melihat kinerja pelayanan publik dapat dikelompokkan menjadi dua pendekatan. Pendekatan pertama melihat kinerja pelayanan publik dan perspektif pemberi layanan, dan pendekatan kedua melihat kinerja pelayanan publik dan perspektif pengguna jasa. Pembagian pendekatan atau perspektif dalam nielihat kinerja pelayanan publik tersebut hendaknya tidak dilihat secara diametrik, melainkan tetap dipahami sebagai suatu sudut pandang yang saling berinteraksi di antara keduanya; Hal tersebut disebabkan dalam melihat persoalan kinerja pelayanan publik, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya secara timbal balik, terutama pengaruh interaksi lingkungan yang dapat mempengaruhi cara pandang birokrasi terhadap publik, demikian pula sebaliknya.
Dalam konteks kinerja birokrasi pelayanan publik di Indonesia, pemerintah melalui Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) Nomor 81 lahun 1995 telah memberikan berbagai rambu-rambu pemberian pelayanan kepada birokrasi publik secara baik. Berbagai prmsip pelayanan, seperti kesederhanaan, kejelasan, kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonoinis, dan keadilan yang merata merupakan prinsip-prinsip pelayanan yang harus diakomodasi dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia. Prinsip kesederhanaan, misalnya, mempunyai maksud banwa prosedur atau tata cara pemberian pelayanan publik harus didesain sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan.
Perkembangan lingkungan global juga telah memberikan andil yang besar kepada birokrasi untuk semakin meningkatkan daya saing dalam kerangka pasar bebas dan tuntutan globatisasi. Birokrasi publik dituntut harus mampu memberikan pelayanan yang sebaik mungkin, baik kepada publik maupun kepada investor dari negara lain. Salah satu strategi untuk merespons perkembangan global tersebut adalah dengan meningkatkan kapasitas birokrasi dalam pemberian pelayanan, publik. Penerapan strategi yang mengintegrasikan pendekatan kultural dan struktural ke dalam sistem pelayanan birokrasi, yang disebut dengan Total Quality Management (TQM), dapat dilakukan untuk semakin meningkatkan produktivitas dan perbaikan pelayanan birokrasi.
Perbaikan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik menjadi isu yang semakin penting untuk segera mendapatkan perhatian dan semua pihak. Birokrasi yang memiliki kinerja buruk dalam me’nberikan pelaydnan kepada publik akan sangat mempengaruhi kinerja pemerintah dan masyarakat secara keseluruan dalam rangka meningkatkan daya saing suatu negara pada era global. Birokrasi pelayanan publik di Indonesia, berdasarkan laporan dan The World Competitiveness Yearbook tahun 1999 berada pada kelompok negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100 negara paling kompetitif di dunia (Cullen & Cushman, 2000: 15) semakin buruk dan semakin korup karena dengan semakin besarnya skor yang dimiliki, semakin buruk kualitas birokrasi di suatu negara. Birokrasi di Indonesia dalam tahun 2001 hanya lehih baik dibandingkan dengan India dan Vietnam. Dan kacamata iklim bisnis secara keseluruhan, dengan mmperhatikan faktor sistemik, sosio-politik, lingkungan, pasar, dan dinamika perekonomian, Indonesia bahkan berada pada posisi paling bawah dalam indeks bisnis. Hal tersebut berarti bahwa Indonesi menjadi negara yang paling tidak menarik untuk tujuan melakukan investasi.
Kinerja birokrasi sebenarnya dapat dilihat melalui berbagai dimensi, seperti dimensi akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, responsivitas, maupun responsibiltas. Berbagai literatur yang membahas kinerja birokrasi pada dasarnya memiliki kesamaan substansial yakni untuk meihat seberapa jauh tingkat pencapaian hasil yang telah dilakukan oleh birokrasi pelayanan. Kinerja itu merupakan suatu konsep yang disusun dan berbagai indikator yang sangat bervariasi sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya.
Perspektif yang digunakan oleh birokrasi sebagai pemberi layanan merupakn perspektif yang sebenarnya berasal dan pendekatan birokrasi yang cenderung menempatkan diri sebagai regulator danipada sebagai pelayan. Kineqa birokrasi pada awálrwa banyak dipahanii oleh kalangan birokrasi hanya dan aspek responsibilitas, yakni sejauh mana pelayanan yang diherikan telah sesuai dengan aturan formal yang diterapkan. Pemberian pelayanan yang telah menunjuk kepada aturan formal dianggap telah memenuhi sendi-sendi pelayanan yang baik dan aparat pelayanan dianggap telah konsisten dalam menerapkan aturan hukum pelayanan. Sulit untuk menelusuri lebih jauh, apakah penerapan prinsip tersebut telah membawa implikasi kepada kultur birokrasi pelayanan di Indonesia yang tidak dapat melakukan inisiatif dan inovasi pelayanan.

2. Akuntabilitas
Akuntabilitas dalam penvelenggaraan pelavanan publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan beberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang diiniliki oleh para stakeholders. Nilai dan norma pelayanan yang herkembang dalam masyarakat tersebut di antaranya meliputi transparansi pelayanan, prinsip keadilan, jaminan penegakan hukum, hak asasi manusia, dan orentasi pelayanan yang dikembangkan terhadap masyarakat pengguna jasa.
Akuntabilitas penyelenggaraan pelayanan publik dalam penelitian dilihat melalui indikator-indikator kinerja yang meliputi: (1) acuan pelayanan yang dipergunakan aparat birokrasi dalam proses penyelenggraan pelayanan publik. Indikator tersebut mencerminkan prinsip orientasi pelayanan yang dikembangkan oleh birokrasi terhadap masyarakat pengguna jasa; (2) tindakan yang dilakukan oleh aparat birokrasi apabila terdapat masyarakat pengguna jasa yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; dan (3) dalam menjalankan tugas pelayanan, seberapa jauh kepentingan pengguna jasa memperoleh prioritas dari aparat birokrasi.
Aparat birokrasi dalam memberikan pelayanan publik seringkali masih menerapkan standar nilai atau norma pelayanan secara sepihak, seperti pemberian pelayanan yang hanya berdasarkan pada juklak (petunjuk dan pelaksanaan) sehingga kecenderungan yang terjadi adalah lemahnya komitmen aparat birokrasi untuk akuntabel terhadap masyarakat yang dilayaninya. Salah satu faktor penyebab yang menjadikan rendahnya tingkat akuntabilitas birokrasi adalah terlalu amanya proses indoktrinasi kultur birokrasi yang mengarahkan aparat birokrasi i.mtuk selalu melihat ke atas. Selama ini aparat birokrasi telah terbiasa lebih mementingkan kepentingan pimpinan daripada kepentingan masyarakat pengguna jasa. Birokrasi tidak pernah merasa bertanggung jawab kepada publik, melainkan bertanggung jawab kepada pimpinan atau atasannya.
Pemberian pelayanan yang memakan proses dan prosedur panjang, seperti yang terjadi di Unit Pelayanan Terpadu, juga menjadi indikasi masih rendahnya akuntabiltas dan birokrasi pelayanan yang ada. Keberadaan Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) sebagai unit pelayanan yang pada awalya dirancang untuk memudahkan pelayanan masyarakat, pada kenyataannya justru cenderung memperpanjang proses dan prosedur pelayanan. Meskipun demikian, keberadaannya masih tetap dipertahankan karena merupakan program dari Pemerintah Pusat. Seorang aparat birokrasi pada kantor Dmas Tata Kota mengakui telah terjadinya ketidakefektifan sistem pelayanan di UPTSA. Rendahnya akuntabilitas pemberian pelayanan publik oleh birokrasi dapat dilihat juga dan banyaknya kasus yang dialami oleh masyarakat pengguna jasa. Masalah prosedur pelayanan yang banyak merugikan masyarakat pengguna jasa, terutama masalah transparansi persyaratan yang diperlukan, merupakan kasus-kasus pelayanan yang banyak mencuat
Transparansi informasi birokrasi dalam pemberian pelayanan publik masih tetap menjadi isu yang penting bagi upaya ke arah perbaikan kinerja birokrasi pemerintah. Tindakan untuk melakukan reformasi birokrasi terutama diarahkan pada upaya untuk peningkatan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas birokrasi (Lubis, 2001). Transparansi dalam birokrasi dapat memberikan implikasi pada meningkatnya tingkat korupsi di dalam birokrasi, tetapi reformasi tetap dilakukan di semua tingkatan birokrasi. Apabila reformasi dilakukan pada tingkat birokrasi pusat saja, hal tersebut justru hanya akan memindahkan korupsi dan birokrasi pusat ke birokrasi yang ada di daerah. Acuan pelayanan yang digunakan oleh aparat birokrasi juga dapat menunjukkan tingkat akuntabilitas pemberian pelayanan publik. Acuan pelayanan yang dianggap paling penting oleh birokrasi dapat merefleksikan pola pelayanan yang dipergunakan. Pola pelayanan yang akuntabel adalah pola pelayanan yang mengacu pada kepuasan publik sebagai pengguna jasa. Birokrasi pelayanan di ketiga daerah ternyata masih menjadikan aturan dan petunjuk pimpinan sebagai acuan utama pemberian pelayanan. Birokrasi bahkan terlihat belum sepenuhnya mengerti dan memahami eksistensi birokrasi yang tetap tergantung pada publik.
Kesadaran aparat birokrasi tentang eksistensi publik yang dapat dipengaruhi eksistensi birokrasi juga masih sangat rendah. Persepsi di kalangan aparat birokrasi yang selalu menempatkan diri (superior) terhadap publik sehingga menimbulkan sifat arogansi aparat birokrasi masih sangat dominan terlihat. Hasil temuan lapangan bahwa ini dapat memperlihatkan masih kuatnya kecenderungan orientasi pemberian pelayanan yang belum bersandar pada uasan masyarakat menunjukkan bahwa budaya ‘minta petunjuk atasan’ masih cenderung dijadikan referensi atau lebih dipentingkan pada melakukan pelayanan yang memuaskan masyarakat pengguna . Acuan pelayanan birokrasi di ketiga daerah yang masih menempatkan pimpinan dan aturan sebagai sentral pelayanan membuktikan bahwa kultur atau corak birokrasi patrimonial masih mewarnai birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Aparat pelayanan yang bertindak atas dasar prinsip peraturan menjadi bersikap kaku dan tidak mendorong lahirnya kreativitas dalam pemberian layanan. Pelaksanaan pelayanan publik seharusnya bertitik tolak dari misi dan visi pelayanan agar dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.
3. Responsivitas
Responsivitas adalah kemampuan birokrasi untuk rnengenal kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program-progrm pelayanan sesuai dcngan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokasi lerhadap harapan, keinginan dan aspirasi, serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat diperlukan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pebyanan serta mengembangkan program-program pelayan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Dilulio, 1991). Organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga (Osborne & Plastrik, 1997).
Dalam operasionalisasinya, responsivitas pelayanan publik dijabarkan menjadi beberapa indikator, seperti meliputi (1) terdapat tidaknya keluhan dan pengguna jasa selama satu tahun terakhir; (2) sikap aparat birokrasi dalam merespons keluhan dan pengguna jasa; (3) penggnaan keluhan dan pengguna jasa sebagai referensi bagi perbaikan penyelenggaraan pelayanan pada masa mendatang (4) berbagai tindakan aparat birokrasi untuk memberikan kepuasan pelayanan kepada pengguna jasa; serta (5) penempatan pengguna jasa oleh aparat birokrasi dalam sistem pelayanan yang berlaku. Keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa merupakan indikator pelayanan yang memperlihatkan bahwa produk pelayanan yang selama ini dihasilkan oleh birokrasi belum dapat memenuhi harapan pengguna layanan.
Responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan oleh belum adanya pengembangan komunikasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan. Indikasi nyata dari belum dikembangkannya komunikasi eksternal secara efektif oleh birokrasi terlihat pada masih besarnya gap pelayanan yang terjadi. Gap pelayanan yang terjadi merupakan gambaran pelayanan yang memperlihatkan hahwa belum ditemukan kesamaan persepsi antara harapan pengguna jasa dan pemberi layanan terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Aparat birokrasi pelayanan di ketiga daerah penelitian terlihat masih membuka jurang komunikasi yang lebar dengan masyarakat pcngguna jasa. Tidak transparannya aparat birokrasi pelayanan pertanahan, misalnya, merupakan salah satu indikasi belum adanya pengembangan komunikasi eksternal di kalangan aparat birokrasi dengan rnasyarakat pengguna jasa. Tidak transparannya komunikasi dan birokrasi yang menyangkut pemberian pelayanan menyebabkan pihak masyarakat pengguna jasa selalu berada pada posisi yang dimikan.
Tidak adanya transparansi informasi dari birokrasi tersebut membuat banyak masyarakat pengguna jasa mengalami frustasi. Kornunikasi yang tidak efektif yang selama ini masih dikembangkan oleh birokrasi menunjukkan bahwa birokrasi belum mempunyai kesadaran untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa. Responsivitas pemberian pelayanan publik salah satunya diukur melalui keterbukaan informasi dan seberapa jauh interaksi komunikasi yang terjalin antara birokrasi sebagai pemberi layanan dengan masyarakat pengguna jasa. Kasus di atas memperlihatkan gambaran bahwa masyarakat pengguna jasa seringkali belum mempunyai akses terhadap informasi pelayanan yang dibutuhkan, demikian pula kecenderungan aparat birokrasi justru terkesan menyembunyikan informasi kepada masyarakat. Dalam iklim komunikasi pelayanan yng tertutup seperti ini, sangat sulit untuk dapat mewujudkan responsivitas aparat birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan kepada publik.
4. Orientasi pada Pelayanan
Orientasi pada pelayanan menunjuk pada seberapa banyak energi birokrasi dirmanfaatkan untuk penyelenggaraan pelayanan publik. Sistem pemberian pelayanan yang baik dapat dilihat dan besarnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh birokrasi secara efektif didayagunakan untuk melayani kepentingan pelayanan. Idealisnya, segenap kemampuan dan sumber daya yang dimiliki oleh aparat birokrasi hanya dicurahkan atau dikonsentrasikat untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pengguna jasa. Kemampuan dan sumber daya aparat birokrasi sangat diperlukan agar orientasi pada pelayanan dapat dicapai. Contohnya, antara lain, adalah masalah penyediaan waktu kerja aparat yang benar-benar berorientasi pada pemberian pelayanan kepada masyarakat. Aparat birokrasi yang ideal adalah aparat birokrasi yang tidak dibebani oleh tugas-tugas kantor lain di luar tugas pelayanan kepada masyarakat. Aparat pelayanan yang ideal juga seharusnya tidak memiliki kegiatan atau pekerjaan lain seperti pekerjaan sambilan di luar pekerjaan kantor yang dapat mengganggu tugas-tugas penyelenggaraan pelayanan. Kinerja pelayanan aparat birokrasi akan dapat maksimal apabila bila semua waktu dan konsentrasi aparat benar-benar tercurah untuk melayani masyarakat pengguna jasa.
Kondisi pelayanan yang ideal di atas dalam realitasnya sangat sulit untuk diwujudkan dalam birokrasi. Ketidakjelasan pembagian wewenang, inkonsistensi pembagian kerja, serta sikap pimpinan kantor yang sewenang-wenang memberikan tugas kepada aparat bawahan tanpa memperhitungkan aspek sifat pekerjaan, urgensi pekerjaan, dan dampak pemberian tugas terhadap kualitas pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan beberapa fakta penyebab sulitnya aparat birokrasi berkonsentrasi secara penuh pada tugas-tugas pelayanan masyarakat. Aparat birokrasi seringkali meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain di luar tugas pelayanan. Kondisi tersebut membuat pelayanan kepada masyarakat menjadi terganggu. Masih seringnya aparat birokrasi meninggalkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat, erat kaitannya dengan adanya tugas-tugas tambahan yang dibebankan oleh pimpinan kepada aparat pada tingkat bawah yang menjalankan tugas pelayanan langsung kepada masyarakat. Hal tersebut sangat sering menimpa aparat birokrasi di tingkat desa, kelurahan, atau kecamatan yang merupakan tingkatan pemerintahan terendah yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Aparat pelayanan seringkali diperintahkan oleh pimpinan kantor desa atau kecamatan untuk menghadiri kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, scperti mewakili camat atau lurah melayat warga yang meninggal dunia, ikut serta dalam kegiatan posyandu, safari KB, pertemuan RW, atau pertemuan rapat warga lainnya, yang dilakukan pada saat jam pelayanan.
Penugasan aparat untuk dinas luar oleh pihak pimpinan kantor pada saat jam pelayanan masih seringkali ditemukan di beberapa kantor pelayanan baik di lingkungan kantor pelayanan desa, kecamatan, kantor pertanahan maupun kantor pelayanan perizinan. Kegiatan dinas luar yang seringkali dilakukan oleh aparat birokrasi adalah melakukan kegiatan peninjauan suatu kegiatan atau membantu pekerjaan dan seksi lainnya. Banyak ditemukan aparat pelayanan yang membantu tugas-tugas dari seksi atau bagian lainnya sehingga tugas pokoknya menjadi terbengkalai, seperti seorang kepala seksi pelayanan harus ikut dalam kegiatan penataan arsip, mengurusi surat menyurat, menjaga dan menerima telepon kantor, atau bahkan penyelenggaraan pasar murah atau sekaten. Tugas-tugas tersebut belum termasuk tugas-tugas untuk kepentingan pribadi yang diberikan oleh pimpinan, seperti mengerjakan tugas-tugas kantor yang seharusnya menjadi bagian tugas pimpinan, menemani tamu kantor atau tamu pimpinan, menyampaikan suatu surat pembenitahuan ke kantor-kantor kelurahan, atau mewakili camat keliling kecamatan untuk memantau dan melakukan pembinaan kepada masyarakat. Pada akhirnya ketidakberadaan petugas pelayanan menyebabkan pemberian pelayanan terhadap pengguna jasa menjadi lambat sehingga kinerja pelayanan publik menjadi buruk.
Alasan yang seringkali dikemukakan oleh pimpinan kantor untuk menugaskan aparat pelayanan mengerjakan tugas lain pada saat-saat jam pelayanan adalah karena terbatasnya jumlah personil aparat pelayanan. Para pimpinan kantor, sebagaimana yang seringkali diungkapkan oleh para aparat, seringkali menggunakan alasan “pokokke endi sing selo”, atau pokoknya siapa saja aparat yang dianggap memiliki waktu luang, maka akan ditugaskan untuk dinas luar. Manajemen pembagian tugas dan sebagian besar pimpinan birokrasi yang belum mencerminkan gaya seorang manajer tersebut menjadikan pola pembagian tugas dalam birokrasi antara urusan adimnistratif, tugas pimpinan, dan tugas pelayanan menjadi bercampur. Pimpinan birokrasi seningKali belwn dapat membedakan antara tugas pnibadi pimpinan, tugas pimpinan kantor yang tidak dapat diwakilkan kepada bawahan, dan tugas pelayanan masyarakat dan aparat pelayanan sehingga seningkali menyebabkan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat cenderung dapat dikalahkan oleh kepentingan pribadi pimpinan atau tugas-tuas pimpinan lainnya. pada sisi output pelayanan, birokrasi secara ideal harus dapat memberikan produk pelayanan yang berkualitas, terutama dan aspek biaya dan waktu pelayanan. Efisinsi pada sisi input dipergunakan untuk melihat seberapa jauh kemudahan akses publik terhadap sistem pelayanan yang ditawarkan. Akses publik terhadap pelayanan dipandang efisien apabila publik memiliki jaininan atau kepastian menyangkut biaya pelayanan. Kepastian biaya pelayanan yang hams dike1irkan oleh publik merupakan indikator penting untuk melihat intensitas korupsi dalam sistem layanan birokrasi. Birokrasi pelayanan publik yang korup akan ditandaj oleh besarnya biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa dalam mengakses layanan. Publik, dengan demikian, harus mengeluarkan baya ekstra untuk dapat memperoleh pelayanan yang terbaik dan birokrasi, padahal secara prinsip seharusnya pelayanan terbaik harus dapat dinikmati oleh publik secara keseluruhan. Demikian pula efisiensi pelayanan dan sisi output, dipergunakan untuk melihat pemberian produk pelayanan oleh birokrasi tanpa disertai adanya tindakan pemaksaan kepada publik untuk mengeluarkan biaya ekstra pelayanan, seperti suap, sumbangan sukarela, dan berbagai pungutan dalam proses pelayanan yang sedang berlangsung. Dalam kultur pelayanan birokrasj di Indonesia, telah lama dikenal istilah ‘tahu sania taint’, yang berarti adanya toleransi dan pihak aparat birokrasi maupun masyarakat pengguna jasa untuk menggunakan mekanisme suap dan mendapatkan pelayanan yang terbaik.
Kecenderungan aparat birokrasi untuk menerima pemberian uang dan masyarakat pengguna jasa tersebut disebabkan masih adanva budaya upeti dalam sistem pelayanan publik di Indonesia. Budaya pelayanan yang dikembangkan semenjak masa birokrasi keraiaan tersebut pada dasarnya menempatkan aparat birokrasi sebagai pihak yang harus dilayani oleh masyarakat, pelayanan yang hams dilakukan oleh masyarakat tersebut ialah dalam rangka memperoleh patron di dalam birokrasi yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan untuk membangun akses ke birokrasi. Mekanisme pemberian hiaya ekstra dalam praktik pelayanan birokrasi sesungguhnya memperlihatkan berbagai faktor yang sangat kompleks, seperti menyangkut masalah kultur psikologis, sistem pelayanan, mekanisme pengawasan, serta mentalitas aparat maupun pengguna jasa sendiri.
Praktik pelayanan dengan membenikan uang ekstra kepada apara birokrasi tersebut telah menjadi suatu kebiasaan umum di lingkunga birokrasi. Aparat birokrasi xnenjadi terbiasa dalam budaya pelayana yang mengharapkan adanya pemberian uang dan masyarakat. Apabila dalam memberikan pelayanan pengguna jasa tidak memberikan imbalan dalam bentuk uang ekstra tersebut, biasanya aparat dalarn bckcrja terkesan ogah-ogahan atau seenaknya sendiri. Sebaliknya, semakin besar jmbalan yang diberikan masyarakat pengguna jasa akan semakin memacu motivasi keqa aparat dalam melayani masyarakat pengguna jasa tersebut. Selain ditinjau dan segi biaya, efisensi pelayanan publik juga ditinjau dan scgi waktu pelayanan. Keluhan yang dialami oleh pengguna jasa menyangkut waktu pelayanan adalah ketidakjelasan waktu pelayanan. Sebenarnya banyak pengguna jasa yang tidak berkeberatan untuk membayar mahal kalau jelas perinciannya untuk keperluan apa, dan berapa lama waktu yang diperlukan. Akan tetapi, waktu yang diperlukan untuk mengurus pelayanan publik sangat tidak jelas. Urusan yang sama sangat mungkin membutuhkan biaya dan waktu yang jauh berbeda.
Menurut petugas pelayanan, lamanya pemberian pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa disebabkan adanya kendala internal dan eksternal. Kendala iiLternal meliputi pealatan pendukung yang tidak memadai, kualitas SDM rendah, dan koordinasi antarunit. Selain itu, faktor kualitas sumber daya manusia yang relatif rendah semakin menghambat pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kualitas SDM yang rendah tersebut ditandai dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi. Faktor rendahnya pendidikan para petugas pelayanan mempengaruhi peinikiran mereka bahwa semua keputusan harus berasal dan atasan dan harus berpegang teguh kepada juklak/juknis sehingga ketika seorang pengguna jasa memerlukan pelayanan yang cepat, aparat tidak mampu mcmenuhinya karena harus menunggu instruksi atasan terlebih dahulu. Hal ini menyebabkan pelayanan publik menjadi memerlukan waktu pelayanan yang relatif lebih lama. Koordinasi antarunit seringkali menghambat pemberian pelayanan karena waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Kendala lain yang dihadapi adalah kendala eksternal yaitu kendala yang disebabkan oleh pengguna jasa itu sendiri seperti ketidaklengkapan dokumen, pengguna jasa tidak kooperatif dan ketiadaan koordinasi antarinstansi seperti dari kelurahan ke kecamatan. Masalah ketidaklengkapan persyaratan/dokumen yang harus dilengkapi oleh pengguna jasa seringkali membuat aparat menolak memberikan pelayanan. Pengguna jasa disarankan untuk melengkapinya terlebih dahulu. Di sini yang menjadi persoalan adalah ketika lokasi tempat tinggal seorang pengguna jasa jauh dan instansi tersebut dan masalah kesibukan pengguna jasa membuat penyelesaian urusan menjadi lebih lama. Hal tersebut diakui oleh aparat sebagai penyebab utama kelambatan, tetapi jarang sekali aparat yang mempunyai inisiatif untuk tetap memproses berkas-berkas urusan tersebut dan kekurangan persyaratan dilengkapi kemudian. Bagi aparat, apabila tetap diproses, akan menyulitkan kerja mereka sendiri. Pengguna jasa juga seringkali tidak kooperatif maksudnya yaitu bahwa kadangkala pengguna jasa menghalalkan segala cara untuk menyelesaikan urusannya meskipun melanggar peraturan.
Kinerja Pelayanan Publik menghasilkan kesimpulan mengenai rçndahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Pada hakikatnya, pelayanan publik dirancang dan diselenggarakan antuk memenuhi kebutuhan masyarakat pengguna jasa. Namun, persepsi antara masyarakat penggun jasa dan aparat birokrasi mengenai kualitas pelayanan publik yang efisien, transparan, pasti dan adil belum berhasil diwujudkan. Sebagai penyelenggara pelayanan publik, birokrasi pemerintah gagal dalam merespons dinamika politik dan ekonomi sehingga pelayanan publik cenderung menjadi tidak efisien dan tidak responsif. Bahkan, berbagai bentuk patologi birokrasi telah berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akibatnya, muncul banyak praktik KKN dalam penyelenggaraan pelayanan yang amat merugikan masyarakat pengguna jasa. Kinerja pelayanan publik yang buruk ini adalah hasil dan kompleksitas permasalahan yang ada di tubuh birokrasi Indonesia